Oleh : Elfindri, Direktur SDGs Unand
Suluah.id -- Baru saja BPS pusat mengumumkan angka pengangguran Indonesia. Angka yang benar mencerminkan masa pandemi. Data sebelumnya terakhir gambaran pengangguran Februari 2020.
Sekarang angka pengangguran per bulan Agustus sebesar 29.1 juta orang, yang terdiri dari 2.6 juta pengangguran terbuka, 760.000 bukan angkatan kerja, 1.77 juta sementara tidak bekerja dan 24.0 juta bekerja sementara dikurangi jam kerjanya.
Kelompok terakhir biasa dengan istilah lay off. Mereka tidak resmi berhenti tapi tidak menerima gaji atau menerima gaji pada batas terbatas.
Jadi beban baru apa di pasar kerja selain pengangguran terbuka? Jawabannya adalah PHK dan lay off, yang selama ini bekerja dan sekarang berhenti atau sementara dirumahkan.
Kedua fenomena pencari kerja ini menjadi konsekwensi jelas dampak dari covid-19 dengan segala konsekwensi ikutan dari kebijakan social distancing dan melemahnya agregate demand.
Pada masa presiden Edgar M. Hoover 1928 yang dikenal "great depression" memang upaya untuk kembali bangun adalah dengan memelihara konsumsi. Agar konsumsi tidak lebih buruk maka akan diinjeksi melalui kebijakan fiskal, berupa peningkatan anggaran pemerintah.
Saat bersamaan mendorong agar investasi membaik pada sektor sektor yang masih baik kontribusinya terhadap perluasan lapangan kerja.
Kalau pengangguran terbuka bisa disebabkan karena kekurangan tenaga yang cocok dengan keperluan pasar kerja, ini selain dari kompetensi, ada peralihan teknologi akibat kemajuan teknologi digital.
Sementara kalau resesi tentu kembali dapat mendorong faktor-faktor yang dapat membuat pertumbuhan bisnis kembali terbuka.
Pada masa pandemi ini sektor-sektor yang banyak korban tentu selain alih teknologi, alih situasi akibat secara temporary terjadi stagnasi dalam pergerakan manusia, manusia bekerja di rumah, dan berkurangnya pengeluaran untuk durable goods.
Sektor sektor transportasi, perdagangan, sewa kantor, hotel, restoran dan gedung, tourism dan berkaitan dengan itu akan korban berat.
Untuk kelompok penduduk kaya, mungkin tidak perlu dirisaukan bagaimana menggenjot konsumsi mereka, karena mereka masih punya tabungan.
Yang perlu didorong adalah bagaimana menggenjot konsumsi kelompok menengah dan rendah.
Pengalaman negara maju jelas pada masa pandemi ini diperlukan upaya untuk melakukan re-skilling. Amerika Serikat misalnya menargetkan 51 persen dari tenaga kerja yang ada menyesuaikan keterampilan baru.
Sehingga di Indonesia yang mungkin dibidik sebagai strategi dalam mengurangi dampak pengangguran dalam dua hal.
Pertama menyiapkan dan menyesuaikan keterampilan yang diperlukan oleh pasar kerja. Kedua adalah mendorong agar terjadi agregate demand kembali baik dari pengeluaran pemerintah maupun investasi yang masih mungkin dan selektif dilakukan.
Investasi selektif terhadap upaya untuk mengisi dan memproduksi barang dan jasa monopoli, barang dan jasa untuk mendukung aktifitas masyarakat selama peralihan pandemi, dan saat bersamaan memetakan keperluan dan penyesuaian bisnis dengan segala daya untuk masuk ke pasar.(***)