Iklan

Jadi Permasalahan Baru, Sampah B3 Jumlahnya Meningkat di Masa Pandemi

Admin
21 November 2020, 09:02 WIB


Suluah.id -- Pandemi Covid-19 membuat volume sampah bahan beracun berbahaya (B3) meningkat, baik dari fasilitas pelayanan kesehatan maupun rumah tangga. Hal ini menjadi persoalan tersendiri karena sampah yang dibuang begitu saja dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan.


Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan per 15 Oktober 2020 setidaknya terdapat 1.662,75 ton limbah medis terkait Covid-19 lebih tinggi 50 persen dibandingkan jumlah sampah medis sepanjang 2019.


“Berdasarkan laporan 34 Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi di seluruh wilayah Indonesia, wilayah yang menyumbang limbah medis terbanyak adalah DKI Jakarta sebesar 337,16 ton,” kata Vivien kepada Beritasatu.com.


Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat jumlah limbah medis yang dihasilkan rumah sakit selama pandemi sekitar17 ton per hari. Data tersebut hanya diambil dari rumah sakit rujukan maupun non rujukan Covid-19 di Jakarta, dan belum mencakup data dari fasilitas kesehatan.


Agar tidak menjadi sumber penularan, limbah medis tidak boleh dibuang sembarangan. Penghasil limbah diwajibkan mengelola limbah dengan incinerator bersuhu minimal 800 derajat celcius.


Alurnya adalah limbah medis dipilah terlebih dulu. Merujuk pada Peraturan Menteri KLHK Nomor P.56 Tahun 2015, terdapat pengaturan warna kemasan limbah B3.


Warna merah untuk limbah radioaktif, warna kuning untuk limbah infeksius, dan patologis, ungu untuk limbah sitotoksik, dan cokelat untuk limbah bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa tumpahan dan limbah farmasi.


Limbah B3 yang sudah dikemas dibawa ke tempat penyimpanan. Setelah itu, limbah disemprot disinfektan. Lalu limbah dimasukkan ke incinerator yang sudah mendapat izin dari KLHK untuk dibakar dalam waktu 2x24 jam. Residu pembakaran disimpan di tempat pembuangan limbah B3 untuk sementara. Durasi penyimpanan residu paling lama 180 hari. Setelahnya, diangkut dan diolah oleh pihak ketiga.


KLHK memperkirakan ada 88 ton limbah medis per hari termasuk limbah medis akibat Covid-19. Pengelolaan limbah saat ini masih terkendala fasilitas yang tidak merata. Hanya 117 dari 2.925 rumah sakit di Indonesia yang memiliki izin incinerator dengan metode pembakaran pada suhu minimum 800 derajat celcius.


Sedangkan, jasa pengelola limbah B3 yang berizin hanya berjumlah 17 perusahaan, sebagian besar berada di Jawa. Untuk mengatasi peningkatan jumlah limbah medis selama pandemi, KLHK pun mengizinkan fasilitas kesehatan untuk membakar limbah medis di incinerator mereka meskipun belum mendapat izin. Pemusnahan limbah juga bisa dilakukan di rumah sakit terdekat yang memiliki incinerator.


Karena jumlah incinerator limbah medis belum banyak, KLHK diminta Bappenas untuk membangun 32 incinerator dalam 5 tahun mendatang. Lima di antaranya dibangun di Makassar, Aceh, Sumatera Barat, Lombok, dan Kalimantan Selatan yang ditargetkan rampung tahun ini. Incinerator ini nantinya akan diserahkan ke pemerintah daerah untuk membantu mengelola limbah B3.


Penanganan cara sederhana

Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan, pemerintah harus memisahkan pengelolaan limbah infeksius (B3) dan sampah rumah tangga guna mengendalikan paparan dan menghindari penumpukan limbah.


Penanganan sampah medis sebenarnya tidak sulit. Untuk limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan, mereka dapat memilah serta melakukan disinfeksi terlebih dahulu terhadap sampah medis hasil penanganan Covid-19.


Baru setelahnya limbah medis tersebut dapat dibuang menuju Tempat Pembuangan Akhir TPA atau didaur ulang. "Dipilah dulu. Bisa di desinfeksi dengan berbagai cara baru dicacah supaya nggak disalahgunakan," katanya. 


Lebih lanjut, ia mengatakan, proses disinfeksi dapat dilakukan dengan menyemprotkan disinfektan maupun menjemur sampah medis. Selain itu, metode autoclave juga dapat digunakan rumah sakit untuk mensterilisasi limbah medis dengan menggunakan uap panas, dicacah, dan akhirnya dibuang ke TPA.


Metode ini dinilai lebih baik bagi lingkungan ketimbang metode pengelolaan limbah B3 dengan penggunaan fasilitas incinerator karena dapat menghasilkan senyawa berbahaya yaitu dioksin.


Senyawa dioksin sendiri dikenal sebagai senyawa paling beracun yang dapat menjadi pemicu kanker, kerusakan sistem imunitas, dan gangguan hormonal. Karenanya Sawung menilai, pemerintah harus melakukan pengawasan dan memperbaiki regulasi yang ada.


“Kegiatan pembakaran itu tentu akan membuang emisi partikel halus yang akan memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat,” jelasnya.


Sawung juga mengatakan, saat ini, banyak rumah sakit memilih bekerja sama dengan pihak ketiga dalam penanganan limbah medis. Sehingga sebagian besar rumah sakit hanya bertugas untuk memisahkan limbah medis.


Hanya saja cara ini sulit dilakukan oleh rumah sakit di daerah sebab minimnya pihak ketiga yang dapat diajak bekerja sama mengelola barang-barang bekas medis tersebut. "Dengan cara ini rumah sakit hanya mengumpulkan limbah medis di tempatnya, nanti pihak ketiga yang ambil untuk transpor atau kelola," katanya.


Untuk menghindari penyebaran virus korona, pengelolaan sampah rumah tangga oleh masyarakat juga bisa dilakukan dengan disinfeksi secara sederhana sebelum dibuang. Caranya dengan direndam atau disemprot menggunakan cairan pemutih pakaian.


Sawung juga meminta masyarakat untuk memotong sampah bekas APD atau masker yang telah digunakan untuk menghindari penyalahgunaan. Selain itu masyarakat juga perlu memisahkan limbah medis tersebut dengan sampah rumah tangga lainnya.


Rawan kebocoran

Kendati demikian, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengatakan dalam praktiknya pengelolaan limbah medis tidak semulus itu. Bagong menuturkan masih terdapat celah yang memungkinkan sampah medis tidak terkelola dengan baik.


Salah satunya karena banyak pemukiman ataupun rumah sakit menggunakan jasa pihak ketiga yang rawan kebocoran. Sampah medis yang seharusnya diangkut ke lokasi pembakaran, malah dipilah-pilah dulu karena masih punya nilai ekonomis.


"Sampah yang harusnya diangkut ke lokasi pembakaran malah dipilah-pilah dulu karena masih punya nilai ekonomis," jelasnya.


Persoalan kian pelik ketika limbah medis Covid-19 yang berasal dari masyarakat seperti masker, botol obat, dan tisu bercampur dengan sampah rumah tangga biasa saat dibuang. Akibatnya pengelolaan limbah medis pun tidak dapat dilakukan.


"Nggak ada pemilahan sehingga tidak ketahuan. Pas pengangkutan (oleh petugas kebersihan) juga nggak ada pemilahan," katanya.(*) 

Sumber : Lokadata


Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Jadi Permasalahan Baru, Sampah B3 Jumlahnya Meningkat di Masa Pandemi

Iklan