Iklan

Dibalik Nikmatnya Kopi Kawa Daun, Ada Sejarah Perih (1840 - 1908)

Admin
23 Februari 2021, 23:17 WIB




Suluah.id -- Inilah minuman yang sedang digemari di Ranah Minang saat ini: Kawa Daun. Dengan mudah dunsanak akan menemukan kafe-kafe di pinggir jalan raya -biasanya dari bambu, dilengkapi kursi dan balai-balai- tempat menyeruput minuman ini.

Apa itu kawa daun? Kawa artinya kopi. Dari bahasa arab qahwah. Daun ya daun. Jadi kawa daun adalah minuman yang dibuat dari seduhan daun kopi. Seperti teh. Sekali lagi: dari D-A-U-N kopi yang diseduh dengan air panas, dan bukan dari bijinya. Cara menikmatinya juga tak biasa : memakai tempurung alias batok kelapa, dengan ditemani gorengan. Sambil bersila di atas balai-balai bambu seraya dihembus angin sepoi-sepoi dingin pegunungan, sungguh kenikmatan tak terkira bagi penggemarnya. Rasanya? Kelat.

Tapi ambo tidak yakin semua penikmat kawa daun mengetahui bahwa sejarah minuman ini sekelam warnanya. Utamanya bagi orang Minang.

Bermula dari keinginan Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menerapkan tanam paksa kopi di Ranah Minang pada 1840 menyusul keberhasilan di Tanah Jawa 10 tahun sebelumnya. Kopi adalah komoditi bernilai tinggi di Eropa sehingga keuntungan yang membayang sungguh luar biasa. Bagi kompeni tentunya.

Akibat harganya yang tinggi itu, semua biji kopi harus diserahkan ke gudang kopi alias koffiepakhuis tanpa boleh tercecer sebijipun. Muncullah sebutan pakuih kopi bagi pegawai pribumi yang mengurus gudang kopi ini. Tak heran jika mereka umumnya ikut kecipratan kaya.

Tapi malang bagi masyarakat kebanyakan. Mereka hanya boleh menanam saja tanpa boleh mencicipi rasa minuman kopi yang diolah dari bijinya. Kopi adalah minuman para dewa yang tak terjangkau tangan. Tapi tak kayu janjang dikapiang, tak ameh bungka diasah, timbullah ide kreatif untuk membuat minuman dengan menyeduh daunnya. Demi dapat mencicipi rasa kopi yang harum itu. Dapat dipastikan bahwa ide ini muncul terinspirasi dari cara mengolah daun teh menjadi minuman. Sayangnya ide ini tidak tercatat dengan baik kapan munculnya, dimana dan oleh siapa.

Pastinya rasa daun kopi tidak sama dengan rasa biji kopi. Tapi setidaknya ada bau-bau kopinya juga. Kelat-kelat sedikit tak apalah, mungkin begitu pandangan masyarakat saat itu. Penderitaan ini baru berakhir pada tahun 1908 ketika tanam paksa kopi diganti dengan penerapan belasting atau pajak. Namun tradisi minum air daun kopi ternyata tidak ikut berhenti. Mungkin karena sudah berlangsung lebih dari 60 tahun.

Sebelum diseduh daun kopi diasapi dulu sampai kering. Setelah itu baru disiram dengan air panas didalam tabung bambu. Selanjutnya ditambahkan gulo saka sebagai pemanis. Taraaaa.....terciptalah kawa daun.

Proses pengasapan daun kopi ini yang terekam dalam sebuah potret koleksi Tropen Museum. Beberapa orang ibu sedang bakalumun asok mengasapi daun kopi. Di belakang mereka didirikan tikar sebagai penghalang angin. Tentu saja, karena tentu mereka tidak mengharapkan api menyala dan membakar daun-daun kopi itu. Yang diharapkan adalah baranya. Kalau daunnya sudah berbunyi gemerisik artinya proses pengasapan sudah selesai. Siap untuk diolah selanjutnya.

Satu lagi tentang istilah Melayu Kopi Daun. Konon ini sebutan bangsa Belanda kepada orang Minang karena mereka meminum minuman kawa daun ini. Tepatnya sebuah hinaan. Tapi dulu almarhumah ibu ambo pernah bercerita bahwa istilah melayu kopi daun bukan diberikan oleh penjajah Belanda, tetapi karena salah tangkap pendengaran si Minang terhadap makian khas Belanda, "Melayu G*dverdomme". Tapi intinya tetap sama: istilah itu muncul dari sebuah hinaan dan makian.(*) 

Disarikan oleh : Alfendri R. Bachtiar, dari berbagai sumber
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Dibalik Nikmatnya Kopi Kawa Daun, Ada Sejarah Perih (1840 - 1908)

Iklan