Oleh : Asrinaldi Asril (* |
Suluah.id -- Belajar dari dinamika dari Muswil yang baru dilaksanakan masih terbersit kegelisahan saya melihat tingkah dan polah kader-kader HMI hari ini yang lupa bagaimana menyikapi perubahan zaman yang bergerak cepat. Barangkali apa yang saya sampaikan ini lebih kepada pengamatan sempit saya dan otokritik sebagai kader yang hanya pernah mengikuti LK-1 HMI dan sejak tamat kuliah sudah jarang aktif pada kegiatan HMI. Memang ada sesekali diminta untuk mengisi Latihan Kader HMI pada level basic training.
Pertama, saya melihat ada kecenderungan kader-kader muda dan alumni selalu melihat fakktor kekuasaan senior-seniornya sebagai “alat” untuk memudahkan urusan organisasi dan kalau bisa tertumpang urusan pribadi mereka. Memang cara ini tidak selalu salah di tengah kontestasi kekuasaan politik yang ketat yang membutuhkan jaringan dan kelompok pendukung yang kuat. Namun, akibat orientasi yang terlalu besar kepada kekuasaan ini sehingga kader dan alumni HMI ini lupa menyiapkan diri untuk menjadi besar dengan potensi yang ada pada dirinya sendiri. Bahkan ini menjadi paradoks dengan tujuan latihan kepemimpinan untuk kader yang selalu menekankan dimensi ini.
Kedua, semakin menguatnya orientasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi hal yang tidak terelakan dalam keseharian kader-kader muda dan aluni sehingga mereka menjadi tergantung pada ekonomi seniornya. Malangnya, senior-senior pun menikmati relasi ini sehingga tanpa disadari hubungan ini menjadi patron-klien yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Memang KAHMI bukanlah organisasi politik dan tidak memiliki intensi untuk berpolitik praktis. Namun, dengan banyaknya anggota KAHMI yang berprofesi sebagai politisi atau paling tidak mereka berada dalam lingkaran kekuasaan, maka relasi ini tidak terelakan. Bahkan sesama kader pun mereka akan bersaing untuk bisa masuk pada lingkaran kekuasaan politik tersebut. Tentu semuanya bermula dari relasi patron-klien yang masih mengakar di jiwa kader-kader dan alumni HMI. Gejala ini mestinya harus dihilangkan agar kader dan aluni HMI menjadi lebih mandiri dan independen dalam membuat keputusannya.
Ketiga, ini memang agak ironi ketika alumni HMI yang tidak memiliki kekuasaan, juga tidak memiliki kestabilan ekonomi, bahkan juga tidak dekat dengan kekuasaan akan menjadi terabaikan. Salah satu dampaknya mereka akan menjaga jarak dengan KAHMI. Kalaupun mereka terlibat barangkali hanya dalam skala “sekedarnya” saja karena mereka juga memaklumi posisinya di mata para kader dan alumni. Pertanyaanya, adakah KAHMI memikirkan fenomena seperti ini? Karena, idealnya, ber-KAHMI tentu tidak hanya sekedar berkumpul membicarakan masalah sosial, ekonomi dan politik bangsa dan negara saja. Lebih dari itu, KAHMI harus memikirkan bagaimana mengembangkan dan membantu anggotanya yang selama ini terabaikan (Padeks, 20 Februari 2021)
*) Alumni HMI Cabang Pekanbaru/ Ketua S3 Studi Kebijakan FISIP Unand