Suluah.id -Tingkuluak adalah salah satu jenis pakaian adat perempuan di Minangkabau. Aneka ragam nama dan bentuk tingkuluak berbeda di berbagai daerah meskipun ada juga yang sama.
Misalnya, Tingkuluak Tanduak, Tingkuluak Kain Balapak, Tingkuluak Baradai Ameh, Tingkuluak Basarang Gombak, dan lain sebagainya. Pakaian ini biasa dipakai oleh seorang perempuan Minang dalam acara adatt ertentu. Tingkuluak adalah lambang mahkota adat bagi perempuan karena mengandung makna filosofis yang tinggi. Apa makna Filosofis nya?
Berbagai referensi seperti yang pernah ditulis oleh Boestami (1980) bahwa tingkuluak memiliki makna ‘kepemilikan’ bagi seorang perempuan Minang. Di sisi lain, Jumhari (2009) pernah juga menulis tentang arti dan eksistensi pakaian perempuan Minang ini.
Intinya tingkuluak adalah
sebuah lambang yang memiliki multi dimensi. Dianya bermakna sesuai dengan
pemakainya. Sebuah filosofis yang sangat berarti.
Untuk menjadi bahan pembanding makna tingkuluak ini, informasi dari salah seorang dosen dan juga TACB
di Kabupaten Tanah Datar yaitu Irwan Malin Basa perlu dijadikan sebuah referensi. Beliau memiliki berbagai manuskrip
kuno Minangkabau yang berisikan beragam ilmu pengetahuan dan kearifan lokal
Minangkabau. Di sana kita temukan salah satunya makna filosofis tingkuluak ini.
Pertama, tingkuluak berarti ‘lambang memiliki’ untuk sebuah harta pusaka. Tingkuluak, karena begitu berharganya selalu diletakkan diatas kepala. Jika ada yang meletakkannya di bahu maka dia bukan tingkuluak lagi tetapi selendang.
Kedua, bentuk nya yang runcing bermakna ‘semangat yang tak pernah pudar.’ Selalu optimis dalam menyikapi berbagai persoalan hidup.
Ketiga, tingkuluak bermakna
‘keseimbangan’ karena dia selalu berukuran sama jika ada dua bentuknya yang
serupa. Keseimbangan perlu ditanamkan dalam hidup. Kita harus bersikap adil.
Keeempat, diujung tingkuluak terletak ujung yang tumpul walau sedikit. Artinya, meskipun ‘tajam’ tetapi tidak pernah ‘melukai.’ Kerendahan hati dan sifat tawaduk harus selalu dijunjung tinggi meskipun memiliki ilmu dan harta yang berlimpah.
Kelima, tingkuluak bermakna
‘tanggung jawab’ karena di kepala itu letaknya semua ‘tanggung jawab’ tersebut.
Seluruh persoalan akan selesai dengan kepala dingin bukan dengan sikap emosional
dan anarkis.
Kini, jika kita perhatikan dalam proses
mencari pemimpin, mengapa kita tidak melihat dan mempedomani tingkuluak tersebut?
Mengapa kita tidak belajar pada alam dan nilai budaya yang sudah ada? Kita
sering terjebak dalam debat kusir yang tak berujung hanya seputar masalah
gender dengan persepsi bahwa laki-laki lebih pantas. Perempuan lebih lemah.
Nenek moyang orang Minangkabau sudah ratusan tahun yang lalu menanamkan nilai kearifan lokal untuk kita teladani . Semuanya diatur sesuai dengan tatanan kehidupan dan berdasarkan pada pengalaman empiris yang sudah berkali kali.
Makna filosofis itu muncul setelah upaya ‘perenungan’
bertahun tahun oleh cadiak
pandai kita pada zaman dahulu.
Jika kita dapatkan pemimpin yang bersifat seperti makna filosofis tingkuluak ini tentu setiap daerah akan maju karena sudah ada sifat sifat yg baik dari calon pemimpin tersebut. Jika kita tidak percaya juga, haruskah kita pilih terlebih dahulu orang yang memakai tingkuluak itu untuk jadi pemimpin kita? Jika itu memang sebuah ‘keharusan’ untuk kebaikan bersama, mengapa tidak? (*)