Dalam pengakuan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Buya Hamka juga sosok yang berwibawa dan memikat. Haedar muda, kalah itu begitu mengagumi Buya Hamka, dirinya takjub dan ingin sesering mungkin ketemu dengan sosok ulama karismatik ini.
“Kita beruntung karena Buya Hamka mewarisi khazanah, mozaik dan karya-karya yang begitu banyak. Termasuk karya terbesar yakni Tafsir Al Azhar,” tutur Haedar pada Sabtu (13/3) dalam Seminar Antar Bangsa Pemikiran Buya Hamka di Alam Melayu yang diadakan Institute Darul Ehsan (IDE), Malaysia, seperti dilansir muhammadiyah.or.id.
Di Muhammadiyah, kata Haedar, pemikiran Buya Hamka selain multidimensi juga utuh. Pemikiran Buya Hamka tentang keislaman, beliau memiliki pemikiran yang modernis, reformis, dan maju atau dalam diksi di Muhammadiyah disebut dengan Islam Berkemajuan.
Dalam buku Tasawuf Modern, Haedar menjelaskan, Buya Hamka bukan hanya membahas masalah jiwa dan ruhani, tapi juga terkait dengan kemerdekaan berpikir. Pemikiran berkemajuan yang ditampilkan Buya Hamka dalam buku tersebut terlihat ketika dirinya mengkritik para pemuka agama yang berpikiran jumud.
“Kritik dia sangat keras di situ, dan dia mengajak untuk bagaimana kita menyatukan pemikiran antara kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berkehendak, dan kemerdekaan jiwa,” imbuhnya.
Menurut Haedar, materi yang disampaikan oleh Buya Hamka kala itu menunjukkan bahwa pemikirannya melintasi masanya dan melakukan otokritik kepada pemuka agama yang jumud dan terpenjara oleh pemikiran konservatif.
Mozaik dalam Dunia Politik
“Buya Hamka juga mozaik di dalam dunia politik, kalau kita cari bagaimana posisi berpikir poltik Buya Hamka, sesungguhnya dia berada di posisi yang disebut sebagai Islamic Modernism dalam politik,” lanjut Haedar.
Bahkan yang dilakukan oleh Buya Hamka bukan hanya meletakkan Islam sebagai value, juga karakter tasawuf menyertainya di dalam poltik, yang istilah sekarang disebut sebagai perspektif irfani. Karakter ini teruji dan terbukti ketika Ia dipenjara oleh Soekarno, dan ketika Soekarno meninggal, Buya Hamka memaafkan dan menjadi imam salat jenazah Soekarno.
“Jadi politik tanpa dendam kesumat itulah yang ditunjukkan oleh Buya Hamka. Politik damai, politik yang menghadirkan Islam sebagai dinnul rahmah (agama rahmah),” urai Haedar.
Buya Hamka di buku tersebut juga mengkritik para pihak yang mempertentangkan antara Islam dengan Pancasila, baik dari kalangan pemuka agama dan kalangan nasionalis. Buya Hamka menegaskan, dan mengatakan bahwa “adalah fitnah jika Islam dan Pancasila diperlawankan, dipertentangkan.”
“Saya seorang muslim yang sejati, otentik, karena itu saya berpancasila. Dan saya seorang pancasilais sejati, dan karena itu juga saya meletakkan Islam sebagai agama yang akan membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia,” kutip Haedar menirukan Buya Hamka.
(Artikel ini dimuat di muhammadiyah.or.id dengan link Haedar Nashir: Buya Hamka Mewarisi Khazanah Pemikiran yang Berkemajuan)