Iklan

Stockholm Sindrom, Curhat Kebangsaan

Admin
21 Maret 2021, 18:38 WIB
Stockholm Sindrom, Curhat Kebangsaan

Ditulis oleh:
 Malika Dwi Ana, Pengamat Sosial Politik


Suluah.id
-- Orang kayak saya yang sok-sokan teriak soal kebebasan kalau diancam pakek bedil atau penjara ya pasti “kicep”, tiarap. Ho-ohh ini, beneran. Sebangun dengan jaman penjajahan. Bedanya dulu dilakukan oleh ‘Londo putih’ sekarang oleh ‘Londo ireng’ alias bangsa sendiri. Kenapa? Ya karena watak kekuasaan di negara kita tidak pernah benar-benar berubah. Begitupun sikap kita.


Karena yang repot dalam masalah bernegara itu sebenarnya adalah mindset. Rakyat Indonesia yang mungkin karena hidup di negara bekas jajahan ini merasa defaultnya adalah semua hal itu ngga boleh dilakukan kecuali diijinkan negara (atau aparatnya). ‘Kulina’ atau terbiasa disuruh-suruh, dijadikan ‘jongos, batur’, atau budak dahulunya oleh petinggi-petinggi kerajaan hingga jaman penjajahan bangsa Eropa.

Di negara Barat beda lagi. Setelah masyarakat lepas dari kekuasan Monarki dan Kepausan, mereka mengambil default dari sisi berbeda. Apa saja boleh sebelum ditentukan tidak boleh oleh negara. Karena itu mereka sadar sekali bahwa negara itu memang pembatas kebebasan.

Pembatasan kemerdekaan itu harus benar-benar diyakini sebagai jalan untuk mendapatkan harmoni sosial yang lebih baik. Kalau tidak, ya tidak akan mau. Setiap undang-undang itu selalu dibaca sebagai hak apa yang sedang dikorbankan dan digunakan untuk manfaat apa. Jadi clear! Hak apa yang dikorbankan, lalu rewards apa yang akan mereka dapatkan.

Di Indonesia, karena mindsetnya kebalik, maka undang-undang itu akhirnya dibaca sebagai apa yang sekarang dibolehkan. Dan dengan aturan yang kayak apa diperbolehkannya? Tidak terasa kalau itu kemudian merenggut hak-hak warga. Maka jangan heran kalau pemerintah berlomba-lomba bikin undang-undang. Lhaadalah…

Karena fokus dengan aturan kayak apa diperbolehkannya, maka undang-undang itu pada akhirnya menambah terus kekuasaan negara. Tidak ada check and balancesnya, tidak ada penyeimbangannya. Malah sebisanya punishment dibanyakin tapi hak-hak warga masyarakat dikebiri. Sebut saja Polisi Indonesia; boleh dibilang tidak ada pihak di luar lembaganya yang bisa mengontrol. Serem kan ya…

Sejak merdeka itu kebebasan kita hanya bergantung pada kemurahhatian penguasa. Kita pernah punya Orde Baru dan kita segera (atau mungkin telah) memasuki Orde Baru jilid 2 karena pada dasarnya kita sebagai rakyat merelakan itu terjadi. Biasa dijajah sih…

Ini menjadikan sindroma akut dibawah alam bawah sadar yang menjangkiti hampir sebagian besar bangsa Indonesia. Sindroma yang disebut dengan Stockholm Sindrom. Karena terbiasa, jadi pengen terus seperti kebiasaan. Biasa dijajah, biasa disiksa, biasa disakiti, biasa menderita, lama-lama menikmati dan menjadi kepribadian yang sakit (sakit jiwa) “jatuh cinta” pada keadaan yang demikian bahkan sama oknum yang membuatnya demikian.

Sungguhpun ini bukan refleksi 17 Agustusan tapi pesannya memang ke sana. Masih panjang perjalanan bangsa ini untuk memaknai kemerdekaannya. Atau akankah tercerai berai sebelum sampai ke sana?

Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Stockholm Sindrom, Curhat Kebangsaan

Iklan