Iklan

MENULIS

Admin
03 April 2021, 14:33 WIB
Literasi dan Menulis

 Oleh: Muhammad Subhan  *) 

Suluah.id -- MENULIS merupakan tradisi ulama terdahulu. Ulama-ulama di masa lalu banyak yang menulis. Mereka tidak sekadar jago berkhotbah, tetapi juga menuangkan gagasan dan pikiran ke dalam tulisan, baik di suratkabar, majalah, maupun buku. Karya mereka masih ditemukan dan kita baca hingga kini.


Sebut saja satu nama paling populer di Ranah Minang, seorang ulama yang juga sastrawan, Buya HAMKA. Ia meninggalkan karya-karya fenomenal, meski fisik telah tiada. Selain tafsir Al-Azhar yang berjilid-jilid itu, kita juga membaca roman-romannya yang menggugah jiwa, mencerminkan kesantunan dan keindahan bahasa.


Roman-roman itu dicetak ulang, bahkan beberapa di antaranya dilayarlebarkan. Dari buku-buku beliau, generasi milenial tahu betapa beratnya perjuangan dakwah di masa lampau, di zaman penjajah, dan kita juga mengetahui bermacam persoalan sosial kemasyarakatan yang gejolaknya terjadi di masa itu.


Ulama-ulama lain, yang berasal dari daerah yang sama, seperti: Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA—ayah Buya HAMKA), Muhammad Djamil Djambek, Sulaiman ar-Rasuli, Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai el-Yunusiyyah, M. Natsir, adalah beberapa ulama yang juga berdakwah melalui tulisan (bil qalam). Mereka telah tiada, tapi pemikirannya tetap ada, abadi, melampaui zamannya.


Pramoedya Ananta Toer mengatakan, menulis untuk keabadian.


Melihat sepak-terjang ulama-ulama Minang itu, sudah sepatutnya, tradisi menulis dilanjutkan oleh generasi muda hari ini. Kemudahan teknologi seharusnya disambut dengan produktivitas berkarya, bukan sebaliknya larut dibawa arus globalisasi yang melalaikan. Perpustakaan menjadi pintu masuknya. Lewat buku, lewat bacaan, lalu kembali menjadi tulisan.


Kata Engku Siak di surau, sahabat Engku Kari yang juga suka minum teh telur, dakwah dimaknai tidak selalu berdiri di atas mimbar, atau di depan kelas. Dakwah dapat juga dilakukan melalui berbagai media, salah satunya menulis (bil qalam). Jangkauan dakwah via tulisan ini menembus batas ruang dan waktu, melintasi negara dan benua, bahkan tak tersekat jangkauannya.


Pewarisan tradisi menulis dari ulama-ulama itu, dorongan motivasi lain, dapat dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan; sekolah, sanggar-sangar menulis (sastra), komunitas-komunitas baca di masyarakat. Pihak sekolah maupun komunitas harus menyediakan waktu dan porsi lebih ekstra untuk anak-anak binaan menuangkan kreativitasnya. Pendampingan menulis perlu rutin dilakukan, berkelanjutan, sebab menulis ibarat pisau, harus terus diasah. Jika tidak akan tumpul.


Dan, sudah menjadi tradisi pula, terutama sebelum pandemi menjadi-jadi, ketika bulan Ramadan tiba, pelajar ditugaskan mengikuti Pesantren Ramadan atau Pesanten Kilat di masjid dan musala. Pelajar dibekali buku laporan yang mencatat tugas harian khususnya catatan isi ceramah ustaz/ustazah di malam Ramadan.


Khusus Pesantren Ramadan itu, umum materi yang diberikan masih seputar Ibadah, Tauhid, Fiqh, Akhlak dan Tarikh (Sejarah Nabi SAW dan Sejarah Khulafaur Rasyidin). Tapi sedikit—dan nyaris tidak ada—masjid atau musala yang memasukkan materi pengembangan diri berupa Keterampilan Menulis Kreatif.


Materi yang sama dari tahun ke tahun berulang dan cenderung menimbulkan ‘kekakuan’ serta menciptakan interaksi pembelajaran yang monoton. Materi-materi itu sudah sering siswa dapatkan di sekolah maupun di lembaga-lembaga pengajian eksternal yang mereka ikuti. Seharusnya, Pesantren Ramadan juga memasukkan materi pengembangan diri yang asyik dan menyenangkan, dan salah satunya menulis.


Materi menulis kreatif di Pesantren Ramadan bisa saja berupa menulis puisi Islami, cerpen Islami, atau membaca puisi-puisi Islami, juga mendiskusikan karya-karya maestro. Endingnya dari Pesantren Ramadan berpeluang melahirkan buku. Bayangkan saja, setiap Ramadan, lahir ribuan tulisan, lalu kemudian melahirkan ratusan hingga ribuan buku dari masjid/musala. 


Untuk narasumber, Tim Pesantren Ramadan dapat mengundang sastrawan, penulis, wartawan, maupun guru-penulis sebagai narasumber kegiatan itu. Narasumber tidak harus berlatar belakang “Ustaz/Ustazah”, yang penting memiliki kemampuan menulis yang baik, dan kompetensinya sudah diuji publik lewat karya dan prestasinya.


Memasukkan materi menulis kreatif ke dalam kurikulum Pesantren Ramadan—kalau pesantren kilat ini masih tetap ada sebagai salah satu upaya meramaikan masjid/musala—akan menciptakan pembelajaran yang asyik dan menyenangkan bagi pelajar, tanpa mengurangi bobot materi-materi lainnya. Dari kegiatan itu bakal menumbuhkan minat dan bakat siswa, selain upaya kaderisasi melahirkan ulama-ulama yang juga mampu menulis di kemudian hari.


Kita menunggu lahirnya HAMKA-HAMKA baru, atau juga Natsir-Natsir baru, yang membumikan kata lewat karya, dan upaya itu tidak mustahil diwujudkan. 


Selamat menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan. Mohon maaf lahir dan batin.


*) Tokoh Literasi Sumatera Barat



Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • MENULIS

Iklan