Suluah.id -- Pergerakan harga rumah tinggal, yang oleh Bank Indonesia ditunjukkan melalui indeks harga properti residensial, terus beranjak naik. Sesekali, pertumbuhan kenaikannya memang melambat, tapi toh tetap naik, meski tingkat pendapatan masyarakat menyusut.
Pada 2020, misalnya, ketika pendapatan per kapita minus 3,3 persen, indeks harga properti residensial tetap tumbuh 1,4 persen. Dalam 10 tahun terakhir, kenaikan harga rumah cenderung tumbuh lebih cepat dari kenaikan pendapatan per kapita, kecuali pada periode 2016 – 2019.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, selama lima tahun terakhir, dari kuartal I-2017 hingga kuartal I-2021, rata-rata kenaikan indeks harga properti residensial di pasar primer tumbuh 2,1 persen per tahun. Dari 18 kota yang menjadi wilayah survei BI, kota Medan, Surabaya dan Bandung mencatat rekor kenaikan tertinggi.
Satu-satunya kota dengan rata-rata pertumbuhan indeks menyusut selama periode tersebut adalah Balikpapan, di Kalimantan Timur, yakni minus 0,1 persen. Namun pada kuartal pertama 2021 ini, BI memperkirakan kenaikan indeks harga properti di Balikpapan akan kembali positif, bahkan lebih tinggi dibandingkan kuartal tiga dan empat 2020.
Secara umum, menurut Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, indeks harga properti residensial akan tumbuh, meski terbatas. Maksudnya, angka pertumbuhannya tidak besar. Boleh jadi, ini disebabkan oleh kondisi keuangan masyarakat yang masih terhimpit krisis.
Jika dilihat berdasarkan tipe rumah, data Bank Indonesia mengungkapkan bahwa kenaikan indeks harga rumah tertinggi terjadi pada rumah tipe kecil, yaitu ukuran maksimal 21 meter persegi. Selanjutnya kenaikan indeks tertinggi terjadi pada tipe menengah (berukuran 22-70 meter persegi), disusul rumah besar (di atas 70 meter persegi).
Informasi tersebut menjelaskan bahwa rumah tipe kecil memiliki tingkat permintaan paling besar dibandingkan dengan tipe menengah maupun besar. Karena itulah, indeks harganya terus melaju sepanjang tahun.
Secara tahunan atau year on year (yoy), rata-rata pertumbuhan indeks harga rumah tipe kecil dalam lima tahun terakhir mencapai 3,4 persen. Sementara rumah tipe menengah dan besar masing-masing 1,9 persen dan 1,2 persen.
Harga properti yang tumbuh secara konsisten itu tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat yang ditunjukkan melalui produk domestik bruto (PDB) per kapita. Pergerakannya bahkan cenderung berbeda arah.
Di saat pertumbuhan PDB per kapita menyusut pada 2020, misalnya, indeks harga properti residensial tetap tumbuh positif. Indikasi itu menunjukkan semakin sulitnya masyarakat menjangkau harga properti.
Mengacu pada kota-kota yang menjadi wilayah survei BI, setidaknya ada 11 kota yang masyarakatnya semakin sulit mewujudkan mimpi memiliki tempat tinggal sendiri. Dalam dua tahun terakhir, rata-rata selisih pendapatan warga di kota-kota ini dengan kenaikan harga rumah tercatat negatif.
Artinya, kenaikan harga rumah lebih tinggi ketimbang pendapatan. Kondisi paling
memprihatinkan terjadi di Denpasar, Bali. Dalam dua tahun terakhir, yaitu 2019
- 2020, rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita di kota tersebut minus 3,48
persen. Pada periode yang sama, kenaikan indeks harga tempat tinggal justru
naik 0,53 persen per tahun. Dengan demikian, ada selisih sekitar 4,01 persen.
Hal serupa juga terjadi di Medan, Pekanbaru, dan Banjarmasin. Hanya ada enam dari 17 kota kota yang pertumbuhan pendapatan warganya lebih tinggi dibandingkan kenaikan indeks harga properti, yaitu Semarang, Makassar, Bandung, Balikpapan, Palembang, dan Bandar Lampung.
Kondisi ini mengisyaratkan daya jangkau masyarakat terhadap perubahan harga rumah tinggal kian menjauh. Khususnya bagi masyarakat di 11 kota tersebut. Pembangunan perumahan di kota-kota itu, kalau pun ada, mungkin hanya menjadi tontonan bagi warga yang menjadi target pasarnya.
Tren perubahan harga rumah di 11 kota itu memang bervariasi. Di Denpasar misalnya, tipe rumah yang mengalami kenaikan tertinggi adalah rumah menengah, sedangkan di Medan justru rumah tipe kecil.
Sementara itu, di Manado, Samarinda dan Yogyakarta, tipe rumah yang harganya naik paling besar adalah rumah besar. Untuk rumah tipe kecil, rata-rata kenaikan terbesar dalam tiga tahun terakhir terjadi di Medan, yang mencapai 7,8 persen per tahun. Sementara untuk rumah tipe menengah terjadi di Surabaya dan tipe besar di Manado.
Secara nasional, BPS mencatat hingga Maret 2020 ada sekitar 16,4 juta backlog atau rumah tangga yang belum memiliki rumah tinggal sendiri. Dari 11 kota yang laju pertumbuhan pendapatan warganya lebih rendah dari kenaikan harga rumah, Surabaya tercatat sebagai kota dengan kebutuhan rumah paling banyak.
Pada 2019, terdapat sekitar 191.000 rumah tangga di Surabaya belum punya rumah. Setahun kemudian, jumlahnya bertambah menjadi 213.000 rumah tangga. Selain Surabaya, empat kota lain dengan backlog perumahan terbesar adalah Medan, Padang, Denpasar dan Pekanbaru.
Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, perekonomian yang tumbuh lambat akan menurunkan pendapatan per kapita masyarakat. Ketika itu, harga rumah tinggal kian mahal dan berpeluang makin jauh dari daya jangkau masyarakat. Beragam kebijakan yang mendorong pasar perumahan telah diluncurkan.
Bank Indonesia misalnya, pada Februari 2021 telah mengeluarkan kebijakan uang muka nol persen dalam kredit properti. Menurut Kepala Departemen Kebijakan Makroprudential BI Juda Agung, melalui kebijakan loan to value (LTV) hingga 100 persen itu, kredit konsumsi dalam bentuk pemilikan rumah bisa didorong lebih cepat.
“Kami memiliki kajian empiris (yang mendukung asumsi tersebut),” ungkapnya meyakinkan.
Sementara itu, melalui anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN). Dengan demikian, PPN sektor properti termasuk dalam kelompok yang ditanggung pemerintah.
“Dukungan dunia usaha ditingkatkan untuk jump-start ekonomi dan menjaga keberlangsungan sektor strategis,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan kebijakan itu. Nilai PPN yang ditanggung oleh pemerintah diperkirakan mencapai Rp5 triliun. Tentu saja, pengusaha di sektor properti menyambut gembira kebijakan itu.
Apalagi, sektor tersebut termasuk satu dari sedikit sektor usaha
yang tidak tumbuh negatif atau tergerus di tengah krisis, sehingga relaksasi
pajak justru bisa menjadi "bonus". Harga produk yang dijual pun terus
merangkak naik. Berbeda dengan pengusaha yang mendapatkan bonus relaksasi
pajak, kantong masyarakat justru kian kempis -- menjauh dari kemampuan memiliki
tempat tinggal sendiri.
Kenaikan harga properti, baik rumah tinggal atau perkantoran, yang tak kenal kompromi membuat pertumbuhan nilai ekonomi sektor tersebut selalu lebih tinggi dari pergerakan ekonomi nasional. Dalam kurun waktu 10 tahun misalnya, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor properti selalu melampaui PDB nasional, kecuali periode 2015 - 2018. Bahkan di saat perekonomian nasional tergerus 2,1 persen, tahun lalu, sektor properti justru tumbuh positif 2,3 persen.
Hingga 2020, nilai ekonomi sektor properti
mencapai Rp324,3 triliun atau 3,02 persen dari total perekonomian nasional.
Inilah catatan kontribusi sektor properti tertinggi terhadap perekonomian
nasional, setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Pencapaian itu merupakan catatan
sejarah baru untuk sektor properti. Kenaikan harga yang tiada henti terus membesarkan
ukuran ekonomi di sektor tersebut.
Membesarnya nilai ekonomi sektor properti tampaknya tidak sejalan dengan kinerja belanja masyarakat di sektor tersebut. Indikasi ini, setidaknya ditunjukkan melalui pertumbuhan kredit properti yang terus melandai dalam dua tahun terakhir.
Pada 2018 misalnya, pertumbuhan kredit pemilikan rumah dan apartemen mencapai puncaknya, yaitu masing-masing 13,3 persen dan 29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Setelah itu terus melandai, walaupun masih positif.
Tahun berikutnya, kredit pemilikan rumah hanya tumbuh 7,8
persen, dan terus menurun hingga tinggal 3,5 persen pada 2020. Sementara itu,
untuk kredit pemilikan apartemen, pertumbuhannya langsung anjlok menjadi 12,0
persen pada 2019, dan hanya naik 2,3 persen pada 2020. Sementara kredit untuk
pemilikan rumah toko atau ruko, telah menyusut sejak 2017.
Di tengah ukuran ekonomi sektor properti yang terus membengkak, krisis akibat pandemi telah meringkus pendapatan masyarakat. Pada 2019, BPS mencatat PDB per kapita mencapai Rp41 juta, lalu turun menjadi Rp39,7 juta (alias minus 3,3 persen), pada 2020.
Tragisnya, pada saat bersamaan para pengusaha properti tak kenal kompromi: harga properti residensial tetap naik dengan rata-rata dari seluruh tipe sekitar 1,4 persen.
Tampaknya, kinerja
sektor properti yang terus tumbuh dengan kontribusi yang semakin besar terhadap
perekonomian nasional, lebih banyak dipengaruhi oleh harga. Daya beli, seperti
diperlihatkan oleh penyaluran kredit properti dan diindikasikan oleh pendapatan
masyarakat, justru melandai.
Hingga Maret 2020, terdapat 16,4 juta rumah tangga di Indonesia yang belum bisa tinggal di rumah sendiri. Boleh jadi, ini merupakan akibat dari laju pertumbuhan pendapatan yang lebih lambat dari pertumbuhan harga rumah tinggal. Dari 16,4 juta rumah tangga yang belum punya rumah, 47,4 persen di antaranya berada pada kelompok desil 1-4, yaitu 40 persen rumah tangga dengan pengeluaran terendah.
Jumlahnya pada Maret 2020 mencapai 7,8 juta
rumah tangga, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 7,3 juta rumah tangga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, masyarakat yang masuk dalam
kelompok 40 persen pengeluaran terendah itu, rata-rata belanja per bulannya
mencapai Rp373.080 - Rp730.320. Indikator pengeluaran ini digunakan untuk melihat
perkembangan pendapatan masyarakat.
Jika kenaikan pendapatan dan pengeluaran per kapita pada 17 kota yang masuk dalam wilayah survei indeks harga properti Bank Indonesia diperbandingkan, warga di Samarinda boleh jadi paling “merana”.
Selisih antara kenaikan pengeluaran dengan pendapatan di ibu kota Provinsi Kalimantan Timur itu, tercatat paling besar. Selain Samarinda, kota dengan selisih pertumbuhan pengeluaran dan pendapatan paling besar adalah Denpasar dan Pekanbaru.
Di Denpasar, rata-rata kenaikan pengeluaran masyarakat tumbuh 7,9 persen, sedangkan pendapatannya justru minus 3,5 persen, dalam dua tahun terakhir (2019-2020).
Dengan demikian, selisihnya menjadi 11,4 persen. Dari 17 kota
tersebut, hanya warga Makassar, Yogyakarta dan Surabaya yang rata-rata
pendapatannya tumbuh lebih besar dari pengeluaran. ( Sumber : Lokadata )