Makna Simbolik Tradisi Bakayu dan Mangampiang
Perkembangan Jaman Mempengaruhi Tata Caranya
Dari pandangan peneliti kebanyakan saat ini para pelaku
takziah bakayu dan mangampiang ini tidak memahami betul seperti apa makna dan
tujuan tradisi bakayu dan mangampiang tersebut. Pada tradisi bakayu ini
terdapat berbagai simbol-simbol yang mempunyai makna tertentu. Sistem simbol
dan makna tersebut kemudian diaplikasikan melalui interaksi simbolik.
Dimana proses interaksi simbolik tersebut melibatkan
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Manusia dalam interaksi
simbolik menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan apa yang dimaksud
kepada sesamanya dan berpengaruh pula terhadap penafsiran simbol-simbol dalam
interaksi sosial (Mulyana, 2010:71).
Beberapa gambaran mengenai simbol yang peneliti lihat saat
observasi adalah manyiriah rokok (memberikan rokok) dari masyarakat pihak
laki-laki dan diberikan kepada anak atau ahli waris yang telah meninggal. Yang
mana membawa dan memberikan rokok adalah suatu keharusan, baik yang merokok
ataupun yang tidak merokok.
Dan masyarakat yang datang menggunakan kopiah (peci
nasional) dan sarung yang berwarna gelap, sarung tersebut disandang dibahu atau
di pegang saja. Berhubung saat ini masyarakat sudah jarang menggunakan kayu
sebagai bahan bakar untuk memasak dikarenakan kemajuan teknologi masyarakat
telah menggunakan kompor gas.
Maka tradisi Bakayu dan Mangampiang jarang dilakukan lagi dan hanya di praktekkan pada rumah orang yang tidak menggunakan kompor gas saja, dan kegiatan Bakayu dan Mangampiang cukup dengan kegiatan manyiriah saja.
Historis Bakayu dan Mangampiang
Bakayu
Bakayu adalah suatu kegiatan mengambil kayu ke hutan yang dilakukan oleh pelayat laki-laki yang “mudo matah” (orang yang tidak bergelar Datuak) dengan membawa kampak masing-masing. Tujuan mengambil kayu ke hutan ialah untuk meringankan beban pihak yang berduka dalam memenuhi kebutuhan dapurnya untuk acara “manujuah hari” (mendoa setelah tujuh hari mayat meninggal) nantinya.
Waktu pelaksanaan tradisi bakayu dan mangampiang dilakukan pada hari pertama setelah mayat dikuburkan, biasanya dimulai pada pukul 06.30 WIB. Tradisi ini diawali dengan kegiatan membelah kayu bagi yang masih menggunakan kayu untuk memasak, selanjutnya diisi dengan kegiatan duduk bersama-sama di halaman rumah orang yang meninggal atau salah seorang kerabatnya.
Pelaksanaan tradisi bakayu biasanya dimulai dengan ucapan
permintaan maaf dari Datuak (pimpinan suku keluarga yang meninggal) kepada
pelayat yang hadir. Setelah itu dilanjutkan dengan kato pasambahan dari
sipangka (tuan rumah) ke pelayat yang hadir. Kemudian para pelayat yang datang
akan manyiriah rokok (memberi rokok) kepada sipangka sebagai akhir dari upacara
bakayu. Rokok yang diberikan biasanya diletakkan di dalam piring atau gelas.
Mangampiang
Sedangkan Mangampiang adalah suatu kegiatan dimana pihak perempuan datang takziah ke rumah duka dengan menggunakan baju kuruang basiba dan kain saruang yang dipasang pada pundaknya. Dalam pelaksanaannya, mereka membawa beras sebanyak 2L (liter) yang dibawa dengan kampie (tas rajut dari daun enau) yang diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Hal ini sebagai salah satu cara meringankan beban yang dirasakan oleh pihak keluarga. Tetapi tidak semua pelayat tersebut membawa beras menggunakan kampie, namun ada juga yang menggunakan bangkiah (wadah seperti ember terbuat dari rajutan rotan). Hal ini karena ada ketentuan adat yang mengatur jika pelayat memiliki hubungan darah atau sasuku dengan keluarga yang meninggal maka mereka harus membawa ketan dan kelapa dengan menggunakan bangkiah yang ditutup dengan daun lamak (kain khusus penutup wadah tersebut).
Setelah memberikan beras tersebut ada suatu prosesi lain dari tradisi
mangampiang ini dimana para pelayat perempuan pergi ke lasuang (lesung) yang
ada di halaman rumah untuk menumbuk ampiang (beras ketan), sembari mereka
menunggu untuk masuk ke rumah dan menunggu kampie/bangkiah yang mereka bawa
dikembalikan setelah isinya disalin, sebagai tanda kedatangan para pelayat
tersebut.
Aspek
Fisik Tradisi Bakayu Dan Mangampiang
Aspek fisik merupakan objek yang dapat terlihat secara fisik yang dapat berupa benda. Objek fisik dalam Bakayu dan Mangampiang meliputi benda-benda perlengkapan Bakayu dan Mangampiang. Hal tersebut merupakan komponen fisik yang penting dalam Bakayu dan Mangampiang di Nagari Batipuah Ateh Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar.
Semua objek fisik merupakan simbol-simbol yang terhubung langsung dengan pelaku Bakayu dan Mangampiang. Simbol dan makna dari benda-benda perlengkapan Bakayu dan Mangampiang dapat dideskripsikan sebagai berikut : Carano, Carano adalah benda yang berbentuk dulang berkaki dari kuningan.
Keberadaan carano memiliki makna khusus dalam upacara adat, baik dari segi keindahan bentuk maupun motif-motif ukirannya. Sejak dahulu hingga sekarang bentuk carano tidak pernah berubah dan begitu juga dengan motif-motif stilasi flora dan fauna serta ukiran-ukiran yang sama, seperti ukiran pada rumah gadang.
Pemakaian carano berfungsi sebagai lambang persembahan untuk memberikan kehormatan kepada pelaku Bakayu dan sebagai alat komunikasi dengan tamu-tamu yang datang dalam upacara adat kematian.
Dulamak
Dulamak merupakan bagian dari kelengkapan carano. Dulamak berbentuk kain segiempat yang berbahan dasar beludru, dihiasi dengan cermin bulat yang ditempel dipermukaan kain tersebut. Dulamak berfungsi sebagai kain penutup carano. Sebagai sebuah kelengkapan carano, dulamak juga memiliki makna estetis.
Dulamak merupakan simbol dari perwujudan kehalusan budi dalam berkomunikasi, bahwa sesuatu yang penting dan rahasia dalam berbagai masalah hendaklah ditutup agar tidak mendatangkan hal-hal yang merugikan dan terlalu berlebihan.
Kampia
Kampia adalah tas rajut yang terbuat dari daun anau. Kampia memiliki banyak fungsi sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan, yaitu sebagai wadah untuk membawa peralatan upacara adat, seperti siriah, pinang, sadah, gambir, tembakau, beras, labo dan lainlain. Dalam upacara adat kematian kampia digunakan untuk membawa beras bagi kaum perempuan yang datang untuk melaksanakan prosesi Mangampiang ke rumah duka. Orang yang membawa beras menggunakan kampia dalam prosesi Mangampiang merupakan masyarakat biasa yang bukan kerabat keluarga yang berduka.
Bangkiah
Bangkiah merupakan anyaman dari rotan yang berbentuk seperti ember. Sama halnya dengan kampia, bangkiah juga memiliki banyak fungsi sesuai dengan jenis upacara adat yang dilaksanakan. Dalam upacara adat kematian fungsi bangkiah sama dengan kampia yaitu sebagai wadah untuk membawa beras ke rumah duka, namun di dalam bangkiah tidak hanya berisi beras tapi juga berisi kelapa tua. Masyarakat yang datang ke rumah duka membawa beras dengan menggunakan bangkiah, maka mereka merupakan kerabat dekat yang memiliki hubungan tali darah dengan pihak yang berduka.
Lasuang dan Alu
Lasuang (Lesung) dan alu adalah alat tradisional yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pengolahan padi.
Lasuang berbentuk wadah cekung, biasanya terbuat dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya sehingga terbentuk cekungan, namun ada juga yang terbuat dari batu. Sedangkan alu adalah tongkat tebal yang terbuat dari batang kayu. Dalam upacara adat kematian, lasuang dan alu digunakan untuk menumbuk beras ketan (Mangampiang). Beras ketan dimasukkan kedalam lubang lasuang dan ditumbuk berulang-ulang dengan alu, kegiatan ini dilakukan secara bergantian oleh kaum perempuan yang datang kerumah duka.
Hal ini memperlihatkan bahwa setiap kaum perempuan yang datang ke rumah duka menunjukkan rasa simpati dan empati kepada keluarga yang berduka. Rokok, dalam kegiatan Bakayu dan Mangampiang rokok memiliki fungsi sebagai alat komunikasi masyarakat Minangkabau. Rokok wajib digunakan pada upacara Bakayu yang disebut dengan kegiatan manyiriah rokok yaitu sebuah tradisi adat yang dijadikan sebagai bentuk bertakziah ke rumah duka bagi kaum lakilaki. Tujuannya sebagai ungkapan turut berduka dan memperlihatkan diri atas kedatangannya.
Pakaian
Pakaian yang digunakan dalam tradisi Bakayu dan Mangampiang merupakan pakaian yang sopan dan berdasarkan syari’at Islam sesuai dengan falsafah budaya Minangkabau yang dikenal dengan ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Untuk para pemuka adat seperti pangulu pucuak dan pangulu andiko mereka memiliki pakaian tambahan yaitu jas, sebagai bentuk pembeda dalam prosesi tradisi Bakayu dan Mangampiang. Pada dahulunya saat prosesi tradisi Bakayu dan Mangampiang para pelaku harus menggunakan pakaian adat Minangkabau.
Aspek Sosial Bakayu dan Mangampiang
Aspek sosial adalah perilaku serta tindakan yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain. Minta Karilaan (Permintaaan Maaf), Pada pelaksanaan bakayu di halaman rumah seseorang pihak yang berduka biasanya oleh datuk/kepala dari suku yang berduka, beliau menyampaikan permintaan maaf yang disampaikan kepada orang yang datang/pelaku bakayu. Sambah Kato (pasambahan, Sambah kato (pasambahan) adalah salah satu jenis sastra lisan Minangkabau.
Sastra lisan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau dakam acara perkawinan, kematian dan acara adat lainnya. Pasambahan menggunakan bahasa yang halus dan sangat puitis yang berbeda dengan bahasa sehari-hari masyarakat Minangkabau. Kepuitisan itu ditandai oleh banyaknya ungkapan, kiasan, serta susunan kalimat yang teratur sehinggaa bila diucapkan terdengar berirama dan merdu.
Nilai-Nilai Dalam Tradisi Bakayu dan Mangampiang
Nilai-Nilai Agama Dalam pepatah Minangkabau mengatakan adat basandi syarak
syarak basandi kitabullah, yang artinya adat yang didasarkan/ditopang oleh
syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Qur’an dan
Hadist (Latief, 2002:27). Dalam hal ini bakayu dan mangampiang adalah suatu
adat istiadat di Nagari Batipuah Ateh yang harus dilaksanakan karena membantu
sesama anggota masyarakat adalah suatu bentuk solidaritas dalam menghadapi
musibah.
Nilai-Nilai Sosial Pelaksanaan upacara adat merupakan salah
satu kesempatan berkumpulnya anggota kerabat keluarga maupun masyarakat
setempat. Berkumpulnya kerabat dan masyarakat dapat menjalin silaturrahmi.
Tradisi Bakayu dan Mangampiang merupakan salah satu upacara adat kematian
sehingga pelaksanaannya dapat menciptakan dan menjalin silaturrahmi bagi para
tokoh dan pelakunya serta seluruh lapisan sosial masyarakat setempat yang ikut
serta melaksanakannya. (*)