Syeikh Burhanuddin Ulakan Pariaman ( Foto : Dok. Net) |
suluah.id - Syeikh Burhanuddin yang bernama asli Sipono (si Panuah /Samporono) bukan penduduk asli yang manaruko di Ulakan tetapi dia datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya Pampak Sati Karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci yang sejak 256 tahun sebelumnya sudah merupakan daerah kerajaan Pagaruyung sekitar 30 KM ditimur Pariangan.
Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano.
Dari pasangan ini lahirlah ayahnya Pampak Sati Karimun Merah merupakan seorang Datu pandai obat.
Sementara neneknya Puti aka Lundang bersuku koto garis keturunan dari kuweak di Batu Hampar putiah lereng gunung merapi.
Kehidupan sehari hari si pono kecil tidak ubahnya seperti anak seusianya yang selalu bejajar dan bermain. namun, ada kekhususan yang setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebathinan dan kedigyaan bela diri silat. Dimana bekal pelajaran inilah yang dia sisipi pada pengembangan agama kelak.
Kecelakaan yang Merubah Hidup
Ada kelebihan dari sipono bahwa dia selalu tidak mau menerima apa adanya dia selalu berfikir dan bertanya dan banyak waktunya dia habiskan di bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau sehingga suatu ketika sirangkak nan badangkang (Harimau) mengintai untuk memangsanya, namun berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya sipono bisa mengusir harimau tersebut.
Namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku sirangkak. Sehingga akibat peritiwa itu dibawanya hingga akhir hayat dan dia mendapat gelar baru oleh teman temannya si pincang.
Mula Mengenal Agama Islam
Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan disebarkan di Aceh 300 tahun sebelum sipono lahir. Namun, agama baru ini tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus pedalaman Pakan Tuo batang Bangkaweh yang merupakan salah satu jalur perdagangan kala itu.
Untuk membekali keterampilan hidup, setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya pergi ke pasar Tuo Batang Bangkaweh, disini dia dipertemukan pada seorang gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.
Kiranya Illapai ini memasukkan fahamnya pada Sipono dan sipono tertarik untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan hidup si Pono.
Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa ada guru yang lebih pandai darinya di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari mekah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah. Sedang mengajarkan agama Islam.
Cerita ini menarik minat sipono maka diutarakanlah niat tersebut pada Ayahnya untuk belajar agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah.
Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu di perolok-olok kan temannya karena pincang, maka niat tersebut dikabulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.
Berangkatlah keluarga ini 6 rombongan menyelusuri hutan mengiliri batang air melewati nagari Malalo (Singkarak) dan turun gunung sampai Nagari Asam Pulau dan terus mengiliri anak sungai Batang Anai sampai kenagari Sintuak Lubuk Aluang.
Di Sintuak, merupakan nagari yang pertama mereka tempati dan menetap di perantauan. Karena ditempat ini kehadirannya diterima, maka mulailah mereka menjalani kehidupan dengan menggembala kerbau.
Karena setiap hari kerjanya mengembala kerbau, diusianya yang kesebelas tahun maka sipono tidak banyak bergaul dengan orang lain Sehingga, dia bagaikan mengasingkan diri disamping setalian untuk menghindari cemoohan orang akan kondisi kakinya yang pincang.
Padang gembalaannya semakin hari semakin jauh dan tidak terbatas di Sintuk saja melainkan melebar sampai ke Tapakis yaitu daerah antara Sintuk dan Ulakan kini.
Dipengembalaannya di Tapakis sipono mendapat teman bermain orang ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris yang kelak diberi gelar Khatib Majolelo dan menjadi teman setianya ketika kembali dari Aceh dan menjadi tulang punggung dalam penyiaran Islam di Ulakan.
Dari si Idris inilah si pono banyak mendapat informasi tentang keberadaan Yah Yudi Syeikh Abdul Arif yang digelari Tuangku Madinah karena berasal dari Madinah Tanah Arab dan pada Syeikh ini, Sipono belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama, maka dengan cepat si pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah.
Dan pada suatu jumat gurunya menyuruh sipono untuk menjadi Imam dan memimpin guru serta teman teman seperguruannya shalat berjamaah, dia berhasil melaksanakan tugas tersebut tanpa cela sehingga hati syeikh Madinah senang dan mengajaknya berbicara serius dengan mengatakan bahwa ilmu yang dimilikinya belum lengkap untuk itu sipono hendaknya pergi berguru ke Aceh menemui Syeikh Abdurrauf di Singkil.
Sekaitan dengan berkembangnya ajaran Islam di Ulakan masyarakat mulai tidak menyenangi Sipono yang imbasnya juga terhadap keluarga Pampak keseluruhan, untuk itu inisiatif sipono pergi ke Aceh disetujui ayahnya agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar. Bahkan, ingin membunuh si pono karena ajaran islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung ayam.
Bagi orang tua kapergian sipono ke Aceh sama saja dengan kehilangan anak untuk selamanya. karena, Aceh itu jauh dan medannya sangat berat dan berbahaya sehingga kepergian sipono bagaikan pamit untuk mati yang tidak kembali lagi.
Perjalanan ke Aceh
Perjalanan ini dilepas oleh orang tua dan sahabat karibnya Idris dengan perasaan galau dan kehilangan.
Mendapati situasi seperti ini sipono berpesan jangan bersedih bahwa dia akan kembali terutama pada sahabatnya si Idris yang berjanji akan menanti kedatangan si pono sahabatnya.
Dengan bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu Agama kepada Syeikh Abdurrauf di Aceh maka hutan rimba belantara bukit barisan dia jelajahi tanpa mengenal lelah siang berteman matahari malam berselimut embun dengan bilangan hari minggu dan berganti bulan akhirnya Pakiah Pono bertemu dengan empat orang yang juga sehaluan jalan.
Keempat orang tersebut berhenti ditepi jalan menunggu Pakiah Pono melewatinya, melihat perawakan dari ke empat orang tersebut hati Pakiah Pono sama sekali tidak ciut meski dalam hatinya bertanya tanya mengapa mereka berhenti, padahal dia sudah bersengaja berjalan lambat-lambat agar tetap berada di belakang.
Ketika sudah dekat dengan sopan Pakiah Pono menyapa mereka sambil menghatur sambah tangan di depan dada yang dibalas dengan sopan pula oleh keempat orang tersebut dan saling bertanya darimana berasal dan kemana tujuan.
Setelah berkenalan dan mengungkap nama masa kecil serta gelar yang disandang kemudian berbincang-bincang tentang arah tujuan yang kiranya sama-sama hendak menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf di Singkil Aceh.
Karena kepintaran berdiplomasi si pakiah Pono, maka atas kesepakatan mereka berlima ditunjuklah pakiah Pono menjadi pimpinan Rombongan hingga sampai di Aceh Singkil.
Adapun teman berempat yang bertemu pakiah Pono adalah Datuak Maruhun Panjang dari Padang Gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.
Tiba di Singkil Aceh
Pakiah Pono, Datuak Maruhun Panjang dari Padang Gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syeikh Abdurrauf di kediamanya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima.
Awal mula yang menemui Syeikh Abdurrauf adalah sahabat pakiah Pono yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima orang maka menyusul muncul pakiah pono yang kakinya cacat kecil sebelah akibat peristiwa masa kecil.
Melihat kedatangan pakiah Pono dengan sembah sujud berbudi Syeikh Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke selatan dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.
Maka tanpa ragu sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.
Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut berebut mengambil lokasi ditiap sudut sementara si pakiah Pono tenang tidak berebut tempat sehingga dia tidak kebagian lokasi.
Melihat prilaku pakiah Pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari sang Syeikh dan akhirnya si pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumahnya saja.
Ma’rifat berguru:
“Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”
Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan mudah dipahami pakiah Pono, apalagi pakiah Pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh orang awam.
Apalagi latar belakang pakiah Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna diterapkan di pesantren.
Sehingga, Syeik Abdurrauf mempercayakan pakiah Pono untuk mengurus keperluan pesantren, dari membuat dan memelihara ikan di kolam, berkebun dan ke sawah juga menggembala sapi kepunyaan sang Syeikh.
Hal itu dia lakukan tanpa membantah, karena pakiah Pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi keyakinannya pada dirinya sendiri.
Sehingga, tanpa disadari terbuka hijab ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang tidak terduga terjadi.
Makanya, tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan. Karena, ilmu tersebut dia dapatkan hasil dari hijabah yang dilakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama.
Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.
Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju,
Keridha’anMulah yang aku cari,
Kuharapkan kasih sayangMu,
Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.
Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin. Karena, menyangkut penyerahan kehidupan sang murid secara bulat.
Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk tidak lagi menguasai dirinya secara penuh. Maka, disinilah letak terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan sadar dalam ketidaksadaran dalam artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa batas.
Untuk ujian kepatuhan ini Syeikh Abdurrauf menguji siswanya dengan merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren.
Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa pesantren yang mau melakukannya kecuali pakiah Pono.
Dalam hikayat, suatu hari Syeikh Abdurrauf menguji santrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syeikh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya pakiah Pono-lah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan bersihkan.
Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami selama ini.
Ketika Syeikh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh pakiah Pono menyusulnya ke pulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi, pakiah Pono bergegas ke tepi pantai, tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahu-pun untuk bertolak ke pulau.
Karena pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan, maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal pengetahuannya tentang syari’at Islam dan pemahamannya akan maksud kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat asmaul husna sudah dia pecahkan, maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan pakiah Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat pakiah Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis sang Guru maka dengan seketika pakiah Pono melayang kebawah untuk menyambut kayu tersebut.
Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam.
Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum shufi adalah disaat pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.
Saat itu pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi mekar-mekarnya dirumah, sementara Syeikh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan.
Kiranya hormon pertumbuhan pakiah Pono sedang memuncak pula, maka bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi tanggungannya.
Inilah perang sangat dahsyat yang dialami pakiah Pono, perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.
Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.
Bagi pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu setan dan menjadi orang terbuang didunia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Meski peristiwa ini disesalkan sang guru, namun itu sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah tabir bahwa pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya dagingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.
Cukup lama pakiah Pono menderita sakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak, mengikuti dan menyimak alur pemerintahan kesultanan Aceh yang kelak sebagai bekalnya ikut masuk menata adat istiadat dikampung halamannya.
Hal inilah yang membuat Syeikh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.
Adapun Pembelajaran yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada pakiah Pono merupakan metoda baru yaitu dengan pendekatan tali bathin.
Tidak ada jarak antara santri dengan murid sehingga pelajaran yang diberikan melalui lisan dengan mudah dapat dipahami pakiah Pono apalagi cara belajarnya juga beda suasana dengan yang lain.
Dengan demikian pakiah Pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahaminya.
Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa, apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat pakiah Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.
Tidak heran Syekh Abdur Rauf mencurahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya, dan pakiah Pono pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dimana kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik mungkin sehingga Ilmu syariat Islam yang bercabangkan fikih, tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits, ilmu taqwim (hisab) dan juga ilmu firasat dapat dia kuasai.
Suatu ketika pakiah Pono dibawa Syeikh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruh pakiah Pono membuka lembaran Kitab dan Syeikh Abdurrauf mengajarkannya sekali jalan dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh pakiah Pono.
Itulah metode pembelajaran baru yang yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada pakiah Pono yaitu dengan memberikan wejangan secara lisan terlebih dahulu kemudian baru membuktikannya dengan melihat isi kitab.
Dalam menuntut ilmu berbagai ujian berat di lalui pakiah Pono hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna dimana syarat lulus pakiah Pono belajar dengan Syeikh Abdurrauf adalah Tajalli dengan Allah.
Man a’rafa Nafsahu
Fakad a’rafa Rabbahu,
Man a’rafa Rabbahu,
Fasaddal Jasadu
(Bila engkau mengenal dirimu
maka otomatis engkau mengenal Tuhanmu
Bila engkau mengenal Tuhanmu
Maka tiadalah berharga lagi kebendaan bagimu)
dan Ma’rifat ini didapatnya dengan berkhalwat mengkaji diri selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun.
Sepulang berkhalwat dan hendak menuju pondok pesantren pakiah Pono disuruh melihat ke langit maka berbagai fenomena alam tak sadarnya terpampang di sana.
Syeikh Abdurrauf menyuruh pakiah Pono menceritakan apa yang terlihat olehnya untuk didengan santri lainnya.
Pakiah Pono menceritakan bahwa ketika dia melihat ke atas terlihat olehnya 7 lapisan langit dan diatasnya terdapat bentangan tupah berisi ayat-ayat Alqur’an tempat dimana Allah memerintah Malaikat Jibril membawa Alqur’an tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.
Dan ketika dia melihat kebawah terlihat olehnya 7 lapis Pitalo bumi dengan segala isinya.
Kesemua penglihatan pakiah Pono dijabarkan oleh Syeikh Abdurrauf sehingga para santri yang lain bergetar hatinya dan mengakui betapa kerdilnya manusia itu dihadapan Allah.
Syekh Burhanuddin Kembali ke Pariaman
Setelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syeikh Abdurrauf, maka tibalah saatnya pakiah Pono dikembalikan ke Pariaman meninggalkan Aceh guna mengembangkan Agama yang dia pelajari selama ini.
Masa pendidikan itu berakhir dengan perpisahan antara guru dan murid yang berlangsung dengan penuh kasih sayang.
Menurut cerita terjadi percakapan antara Syeikh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi : “Saat ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.
Berbahagialah engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya.
Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak.
Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan.
Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana,” Ujar Syeikh Abdurrauf yang disambut pakiah Pono dengan kalimat hamdallah “ Alhamdulillahi Rabblil A’lamien”.
Kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan, “Pulanglah kamu kenegerimu, ajarkan ilmu yang ditakdirkan Allah, kalau kamu tetap kasih, takut dan malu kepadaku, maka kamu akan mendapat hikmah, tanganmu akan dicium raja-raja, Penghulu-penghulu, dan orang besar seluruh negeri, muridmu tidak akan putus hingga akhir Zaman, dan ilmu kamu akan memberkati dunia, karena hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau.
Kini, engkau, aku lepaskan.
Namun dengarkan baik-baik!
Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.
Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini, beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu karena itu setelah ini engkau memakai nama Burhanuddin dimana nama tersebut pemberian dari guruku Syekh Ahmad al Kusasi itu untukmu, jauh sebelum engkau berguru padaku dan ia menitipkan sepasang jubah dan kopiah.
Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda Ijasah kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”. Demikian isi perbincangan mereka.
Kejadian itu terjadi sekitar Tahun 1686 M. dimana merupakan hari Keberangkatan pakiah Pono yang kini sudah bergelar Syeikh Burhanuddin untuk meninggalkan mesjid Singkil selama-lamanya.
Pakiah Pono alias Syeikh Burhanuddin dilepas Syeikh Abdurrauf dengan sebuah taufah dan membekalinya perahu disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang panglima yang bernama Katik Sangko berasal dari Mudiak Padang Tandikek yang berlayar dengan tentara Hindu Rupik dan kemudian menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf kini dia diminta untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Alasan Syeikh Abdurrauf membekali Syeikh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat. sebab, kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi, karena mereka tidak senang kesenangannya diusik dan diganti.
Setelah bertolak dari Aceh rombongan Syeikh Burhanuddin singgah di Gunung Sitoli untuk menambah bekal air minum, maka disitu rombongan menggali sumur yang airnya tidak payau layaknya air dekat tepi Pantai melainkan bagai air pergunungan.
Setelah selesai shalat dan perbekalan dicukupkan, maka rombongan Syeikh Burhanuddin bertolak kembali menuju Pariaman.
Menurut hikayat sumur yang ditinggalkan itu dijadikan orang sebagai tempat berobat, maka bernamalah dia menjadi sumur niaik dan kemudian oleh perubahan dialek menjadi sumur nieh dan pulaunya dinamakan Pulau Nieh (kini namanya Kepulauan Nias).
Jauh berlayar akhirnya rombongan Syeikh Burhanuddin tiba di pulau Angso dimuka pantai Pariaman dan istirahat selama dua hari, kiranya selama itu pecah berita dimasyarakat bahwa ada rombongan kapal Aceh yang datang merapat di Pulau, nama panglimanya Katik Sangko membawa seorang yang bergelar Syeikh Burhanuddin dengan tujuan untuk mengembangkan agama baru.
Berita dari nelayan ini menyulut kemarahan tukang sihir, sehingga mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan Syeikh Burhanuddin.
Hiruk pikuk kemarahan para tukang sihir tidak membuat gentar Katik Sangko, dia tetap menjalankan perintah gurunya mengantar Syeikh Burhanuddin ke Pariaman dengan selamat maka didayungnya kapal ke pantai.
Dipantai kedatangan mereka tidak disambut dengan baik, mereka ditolak sebelum mereka meyampaikan maksud kedatangannya.maka, terjadilah perkelahian yang memakan banyak korban baik dari Rombongan Katik Sangko maupun pihak penyihir, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syeikh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke basa nan barampek di Tandikek Tujuh Koto, sehingga mereka segera menyusul untuk menangkap Katik Sangko.
Dugaan mereka salah kiranya, rombongan Katik Sangko sangat kuat, sehingga tiga dari keempat basa tersebut yaitu Gagak Tangah Padang, Sihujan Paneh, dan si Wama mati.
Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan gelap mata sementara rombonyan Katik Sangko juga banyak yang tewas.
Karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam, akhirnya Katik Sangko yang melapor pada Syeikh Burhanuddin. Oleh Syeikh Burhanuddin Katik Sangko disuruh kembali ke Aceh melapor pada Syeikh Abdurrauf tentang kejadian ini dan minta petunjuk. Bagaimana mengalahkan Kalik-kalik Jantan.
Oleh Syeikh Abdurrauf Katik Sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal Kalik-kalik Jantan dan 150 bala bantuan yang lebih berpengalaman dalam berperang dikirim.
Setelah bantuan tiba di pulau Angso, Syeikh Burhanuddin memerintahkan kembali menyerang dari pantai Pariaman dipagi hari. Maka, pertempuran kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan membuat tameng rakyat sebagai pelindung, namun dia bisa didesak mundur hingga ke hulu batang Mangau di tepi hutan Tandikek Tujuh Koto. disitu rombongan Kalik Kalik jantan terdesak, namun berusaha bertahan dan akhirnya terbunuh oleh Katik Sangko.
Dan tempat pertahanan terakhir kalik-kalik Jantan itu diberi nama Koto Nan Alah.
Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman, selanjutnya Katik Sangko dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek.
Setelah merasa aman Syeikh Burhanuddin mulai mencari informasi tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
Maka melalui nelayan yang singgah dipulau, Syeikh Burhanuddin mengirim pesan pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah si Pono yang kini bergelar Syeikh Burhanuddin, maka Idris Majolelo mengajak Ninik Mamak, pemuka adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnnya, karena mereka sudah mendengar makan tangan pasukan yang membawa Syeikh Burhanuddin, maka melalui pantai Pariaman Syeikh Burhanuddin di jemput.
Pertemuan Antara Teman Karib Berlangsung Haru
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam.
Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syeikh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia minta dikuburkan dekat pinago biru ini.
Kemudian, Idris Majo Lelo membawa Syeikh Burhanuddin ke Tanjung Medan. Dan dalam perjalanan Idris Majo Lelo menceritakan keadaan orang tua Syeikh Burhanuddin yang telah lama meninggal dan telah diselenggarakan dengan baik.
Namun demikian jauh sebelum meninggal kakak Syekh Burhanuddin yang telah manaruko membuka pintalak di Koto Panjang bersama dengan temannya kaum suku Panyalai sehingga dimana ada pintalak suku Guci disitu ada pintalak suku Panyalai.
Demikian kedekatan suku ini di Koto Panjang dan oleh karena Idris Majo Lelo menjemput teman seperguruan dan sepermainanya si Pono yang kini telah menjadi Syeikh bergelar Burhanuddin maka dipertemukanlah si Pono dengan kakaknya di rumah tarukonya di Koto Panjang dan saudara beradik kakak ini berbagi sejarah maka disitulah Syekh Burhanuddin menetap seterusnya yaitu pada sebuah bangunan satu satunya dari kayu yang beratap bagonjong mirip rumahnya di Guguk Sikaladi Pariangan.
Setelah berehat di rumah maka berangkatlah ke Tanjung Medan yang jaraknya hanya se pematang saja dari rumah kakaknya, sesampai di Tanjung Medan upacara penyambutan kedatangan Syeikh Burhanuddin berlangsung meriah, Syeikh Burhanuddin diberi tanah wakaf dan di dirikanlah sebuah Surau untuk tempat mengajar.
Kedatangan Syeikh Burhanuddin membuat nagari menjadi bergairah. Santri awalnya hanyalah kaum keluarga Syeikh dan kerabat Idris Majolelo.
Untuk memudahkan pengembangan syi’ar agama, Syeikh Burhanuddin meminta masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya. Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh Syeikh Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syeikh Burhanuddin tidak seperti biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua permainan yang ada dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari sepak Rago, main gundu dan layang-layang semua dilakoninya, namun setiap memulai permain dia selalu membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang.
Hal ini menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar apa isi doa yang dibaca Syeikh Burhanuddin menjadi tinggi, dan setelah murid-muridnya semakin banyak. Maka atas musyawarah kaum Koto secara gotong royong dibuatkan masyarakatlah sebuah surau tempat Syeikh Burhanuddin mengajar lokasinya juga di Tanjung Medan tanah milik Idris Majolelo yang juga diwakafkan.
Perjanjian Bukit Marapalam
Mashurnya kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, dari Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam, Pariangan Padang Panjang sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri tersintak mendengar berita ini.
Seluruh Alam Minangkabau menjadi goncang, perhatian dan perbincangan masyarakat tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam.
Untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Minangkabau cara yang dilakukan Syeikh Burhanuddin ialah meniru cara Gurunya Syeikh Abdurrauf, dengan memakai kuasa dan restu Raja Pagaruyung.
Apa bila Raja telah bisa diyakinkan tentang kebenaran agama Islam maka Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi.
Mungkin sudah kehendak hiradat Allah, salah seorang temannya ketika belajar di Aceh yaitu Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam untuk menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah, niat ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Urang Nan Sabaleh” di Ulakan.
Akhirnya Syekh Burhanuddin, Idris Majo Lelo, Mangkuto Alam dan Urang Nan Sabaleh Ulakan dengan diiringi hulubalang seperlunya berangkat menghadap Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.
Pertama sekali yang ditemui adalah Datuk Bandaharo di Sungai Tarab untuk minta petunjuk. Dan atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah para basa ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” yang minta izin untuk menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.
Datuak Bandaro memilih sidang, diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam”.
Dari pertemuan tersebut disepakati yang intinya kedua komponen antara Adat dan Sarak merupakan norma hukum dan saling isi mengisi dimana konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sehingga alim ulama di Minangkabau dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama.
Konsep Marapalam ini disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Dan dari Raja diminta pembesar kerajaan mempertimbangkan yang diterima dengan suara bulat sehubungan dengan politik Yang Dipertuan Pagaruyung dalam menentang monopoli Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Maka, Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan wewenang seluas-luasnya mengembangkan agama Islam di seluruh Alam Minangkabau.
Seperti bunyi pepatah adat yang disebutkan batas-batasnya sebagai berikut “di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Sebagaimana yang dilakukan Syeikh Abdurrauf dalam menguasai ulayat Aceh “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) maka sistim ini disalinterapkan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau.
Wilayah pesisir yang merupakan bagian dari rantau Minangkabau mulai berkembang surau-surau, surau-surau ini mulai mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang bangsa Eropa, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam.
Pengalaman Syeikh Burhanuddin ketika bersama Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syeikh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada uang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau. Anak negeri menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi.
Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syeikh Burhanuddin dengan syi’ar syariat Islamnya telah menyinari Alam Minangkabau sehingga banyaklah orang yang menuntut ilmu agama berdatangan ke Tanjung Medan.
Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam modern saat itu sudah masyhur kemana-mana, Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau sehingga dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal.
Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, itulah awal mula sistem pesantren yang kita kenal sekarang.
Perjanjian Marapalam berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Tahun 1692 M / 1111 H Syeikh Burhanuddin berpulang ke Rahmatullah dalam usia 85 tahun, kematiannya menimbulkan Misteri hingga kini karena setelah jasad beliau dikapani dan hendak dikubur keliang lahat disamping Surau Tanjung Medan kiranya yang tinggal hanya kain kafannya saja, sementara jasadnya Raib.
Konon menurut cerita tak lama berselang tersebarlah kabar bahwa ada masyarakat yang melihat dan mendengar ada cahaya yang diiringi suara salawaik berdendang bagai gandang tasa terbang melayang dan turun di dekat pohon Pinago Biru maka dinisbatkanlah lokasi tersebut adalah Makam Syeikh Burhanuddin sesuai wasiatnya dulu, Wallahu alam bis sawab.
Keberpulangan Syeikh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa.
Sebelum meninggal dunia, Syeikh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syeikh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda yang seorang dari Tanjung Medan yang merupakan sahabat karibnya Katik Idris Majolelo, dan anak salah seorang muridnya yang bernazar bila lahir laki-laki akan dihadiahkan pada Syeikh Burhanuddin sebagai nazar bernama Abdul Rahman yang akan menggantikan kedudukan, sebagai “khalipah” kelak.
Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi persyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah.
Untuk itu dihadapan pemuka pemuka Adat Kaum Cadiak Pandai dan Ulama Ulakan ditetapkan Idris Majolelo dan Abdul Rahman sebagai khalipah yang ahli Adaik dan sarak, I dan II yang pengangkatannya berbarengan.
Idris Majo Lelo dinobatkan jadi Katib, adalah teman akrab Syeikh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam.
Saat itu mashurlah surau Syekh Burhanuddin kepenjuru dunia sehingga pada sisinya berdiri banyak surau-surau kecil yang dihuni oleh pelajar dari berbagai daerah di Minang Kabau, Riau dan Jambi sehingga tersebut lah Tanjung Medan sebagai negeri seratus surau.
Syeikh Burhanuddin meninggal dunia tahun 1692 M / 1111 H dalam usia 85 tahun tanpa meninggalkan keturunan, namun memiliki kakak perempuan yang telah berkeluarga.
Garisnya di Sintuak melewakan gala Datuak Majo Basa, di Koto Tinggi Dt. Nan Sati, di Pasa Usang Dt. Hitam, di Kasang Dt. Rajo Bintang merupakan sanak keluarga yang hilang dan di Ulakan tahun kemarin oleh Rajo nan Sabaleh dikukuhkanlah Drs. Burhanuddin sebagai Dt. Nan Basa, sementara di Guguak Sikaladi Pariangan Datuak Paduko Dirajo.
Garis keluarga Syeikh Burhanuddin yang di Pasa Usang maupun di Kasang bertemunya di kemudian hari setelah negara Republik Indonesia terbentuk.
Manuskrip kitab Syeikh Burhanuddin beserta Ijazah yg berupa pakaian. manuskrip yang ditulis tangan oleh Syeikh Burhanuddin sendiri adalah Kitab asli beserta Ijazah berupa pakaian kaji diri masih tersimpan di tangan Herri Firmansyah khalifah XV bertempat di Surau Pondok Ketek Syekh Burhanuddin Koto Panjang Tanjung Medan Ulakan.
Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syeikh Burhanuddin).
Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab, penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.seperti (1). Kitâb Tuhfah al-Mursalah ilâ rûhin Nabî, (2) Kitâb al-Ma`lûmât, (3) Kitâb Adab ‘Asyik wa Khalwat, (4) Kitâb Khâtimah, (5) Kitâb Fath al-Rahmân, (6) Kitâb Maj al-Bahraiin, (7) Kitâb Mi`dân al-Asrâr, (8) Kitâb Fusûs al-Ma`rifah, (9) Kitâb Bayân al-Allâh, (10) Kitab Bahr al-Lahût, (11) Kitab Asrâr al-Shalâh, (12) Kitâb al-Wahdah, (13) Kitâb Futûhat, (14) Kitâb Tanbîh al-Masyi’, (15) Kitâb al-Asrâr al-Insân, (16) Kitâb al-Anwâr al-Haqâiq, (17) Kitâb al-Baitîn, (18) Kitâb Syarh al-Hikâm (19), Kitâb al-Mulahzhah (20) Kitâb al-Jawâhir al-Haqâiq,
Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab bertahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M. yang ditulis setelah satu abad Syeikh Burhanuddin wafat.
SUMBER: SUDUIK MINANG