Iklan

Tradisi Manjujai di Minangkabau, Pola Asuh Anak yang Dapat Tangkal Stunting

05 Februari 2022, 23:02 WIB


suluah.id - Pola asuh yang baik dan menyenangkan dapat membantu menangkal stunting (gangguan pertumbuhan) pada anak. Di Minangkabau, terdapat pola asuh anak berbasis kearifan lokal masyarakat yang disebut Manjujai.

"Manjujai itu mengajak anak berbicara, menasehati, merangsang anak lewat harapan kita," kata Ketua Umum Bundo Kanduang Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Gusnawilis kepada media. 

Menurut  Gusnawilis, manjujai atau jujai merupakan tradisi turun-menurun masyarakat komunitas Minangkabau yang ada di Sumatera Barat.

Secara harfiah manjujai bisa diartikan sebagai nina bobo. Bentuk manjujai pun beragam mulai dari ungakapan atau idiom, pantun, lagu, permainan sederahana hingga salawat yang dilantunkan ketika anak sedang disusui atau ditimang.

Bagi peneliti, manjujai ternyata lebih dari sekadar tradisi. Manjujai dianggap mampu memberikan stimulasi psikososial yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.

Dan bagi orang tua zaman dulu, manjujai terbukti secara ilmiah memiliki manfaat positif bagi anak. Hal inilah yang diteliti secara detail oleh peneliti dan ahli gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas Padang, Dr. Helmizar, SKM, M. Biomed. 

Wanita Peneliti asal Padang Panjang tersebut mengungkapkan bagaimana pola asuh manjujai terbukti dapat memperbaiki perkembangan fisik dan psikologis anak ke arah yang lebih baik.

Dimulai pada 2011 lalu ketika Helmizar melakukan penelitian terhadap sekitar 360 anak usia enam sampai sembilan bulan selama enam bulan yang tersebar di Kabupaten Tanah Datar. 

Dari 360 anak yang terlibat, Helmizar membaginya ke dalam empat kelompok yaitu anak yang diberi intervensi berupa stimulasi manjujai dan MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) berbahan dasar pangan lokal; kelompok anak yang diberi intervensi manjujai saja; anak yang diberi intervensi MPASI saja; dan anak kelompok kontrol yang tidak diberi intervensi apa-apa.

Sebagai tambahan, ada sekitar 24 jenis stimulasi manjujai yang diajarkan. Diantaranya adalah nyanyian nina bobo khas Minangkabau, tepuk ambai-ambai, daag, mari merangkak, mencari mainan, tebak suara, ayo berdiri, makan sendiri, buku pertamaku, ciluk-ba, hingga permainan tangkap bolanya.

Hasilnya, anak yang diberi intervensi manjujai dan MPASI memiliki perkembangan yang paling pesat dibanding kelompok lainnya.



"Rata-rata kenaikan tinggi badan sekitar tujuh sentimeter selama enam bulan. Dan kenaikan paling tinggi ada pada kelompok yang kita berikan MPASI dan manjujai," kata Helmizar . 

Memasuki bulan keenam, kenaikan rata-rata panjang badan kelompok anak yang diberikan MPASI dan manjujai mencapai 6.66 cm sementara anak kelompok kontrol hanya lima sentimeter.

"Pada anak, pertambahan tinggi badan dan panjang badan adalah 12 cm setahun. Jadi ini sudah maksimal bagi mereka," kata Helmizar.

Pun dengan rerata kenaikan berat badan tertinggi ada pada kelompok MPASI dan manjujai dan terendah pada kelompok kontrol dengan rata-rata kenaikan berat badan tertinggi yaitu 6.86 kg.

Bukan hanya perkembangan fisik, manjujai juga dianggap dapat memberikan dampak positif yang lain. Lewat penelitiannya, Helmizar juga menggandeng psikolog yang bekerja di awal dan di akhir penelitian.

"Perkembangan anak kami ukur dengan alat diagnosis psikologi yang disebut Bayley Scales untuk melihat empat perkembangan dasar yaitu perkembangan kognitif, motorik halus, motorik kasar hingga bahasa." jelasnya. 

Untuk kenaikan fungsi kognitif, anak yang diberi intervensi manjujai dan MPASI mengalami rerata kenaikan motorik sampai 21.38 point sementara kelompok manjujai berada diurutan medua dengan skor 18.89 point, disusul kelompok MPASI dengan 16.04 point dan kelompok kontrol dengan 15.21 point.

"ini signifikan sekali. Secara teoritis ini sesuai dengan apa yang kami pelajari bahwa anak yang diberikan makanan memikiki energi untum bergerak dan anak yang diberikan stimulasi manjujai akan lebih aktif karena menggunakan semua organ motoriknya," tambah Helmizar.

Isu stunting pada anak di Indonesia masih menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia saat ini. Jika dibandingkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dimana stunting mencapai angak 30.8 persen, maka angka stunting nasional telah turun menjadi 27.67 persen berdasarkan Prevalensi Data Stunting 2019 yang dirilis pertengahan Oktober 2019 lalu.

Meski turun, angka tersebut masih terbilang tinggi dan belum memenuhi angka ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen.

Di sisi lain, Helmizar mengaku penelitiannya bisa menjadi bukti bahwa kerusakan akibat stunting dapat diminimalisir melalui pemberian MPASI berbasis pangan lokal serta kebiasaan baik seperti manjujai.

Helmizar memulai penelitian pada 2011 lalu, Kabupaten Tanah Datar memiliki prevalanesi stunting sampai 45 persen. 

"Waktu itu sedang tinggi-tingginya masalah stunting karena stunting itu kekurangan gizi kronis yang sudah lama. Walau harusnya intervensi ada sejak masa kehamilan," tambah Helmizar.

Dari total seluruh anak yang masuk dalam penelitiannya, Helmizar mencatat angka rerata kebutuhan nutrisi anak yang telah terpenuhi di awal penelitian baru mencapai 60 persen.

Jadi ia membutuhkan tenaga ekstra sampai 40 persen agar anak-anak tersebut dapat tumbuh kembang secara maksimal.

Ia sadar, pencegahan stunting harus dilakukan sedini mungkin bahkan ketika anak masih dalam kandungan. Tapi dengan intervensi di awal setelah kelahiran, ia berharap adanya perbaikan status gizi anak, yang pada akhirnya, memperbaiki kualitas hidup anak-anak tersebut.

"Tentu kita terus cari solusi bagaimana masalah stunting ini, anak-anak kita berikan pangan lokal dan orangtua diajarkan mengasuh anak dari manjujai," tutupnya. (rilis) 

Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Tradisi Manjujai di Minangkabau, Pola Asuh Anak yang Dapat Tangkal Stunting

Iklan