Iklan

Mengenal Lebih Dalam Tradisi Malamang

12 April 2022, 10:44 WIB
Foto: Shutterstocks



suluah.id -- Lamang adalah makanan khas masyarakat Minangkabau yang terbuat dari beras puluik dengan wadah dari talang (bambu). Membuat lamang merupakan tradisi masyarakat Minangkabau sejak dahulu dan biasa disebut dengan tradisi malamang. Lamang dan tradisi malamang menarik dan perlu diketahui lebih jauh terutama keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

 

Tradisi malamang merupakan ekspresi masyarakat Minangkabau terhadap bentuk pemenuhan biologis dan hubungan sosial sesama mereka, baik dalam lingkup kerabat maupun masyarakat yang lebih luas. Adanya tradisi malamang semakin memperkuat ikatan kekerabatan, solidaritas dan simbol antara orang-orang yang sekerabat. Artinya, makanan lamang (lemang), sebagai salah satu makanan tradisional, dan tradisi malamang terkait dengan folk culture nya yakni budaya Minangkabau.

 

Aneka  tradisi di Minangkabau mengandung nilai luhur masyarakat Minangkabau yang seyogyanya tetap dijaga oleh masyarakat Minangkabau sekarang ini.  Salah satu tradisi yang telah berlangsung sejak dahulu di Minangkabau dan sudah jarang ditemui pada  masa sekarang ini yakni tradisi malamang (membuat lamang). 

 

Lamang yaitu makanan dari ketan (puluik) yang dimasak bersama santan dan dikemas dalam wadah bambu, kemudian dimasak dengan perapian atau unggun yang sengaja dibuat untuk itu. Makanan lamang (lemang) merupakan salah satu makanan tradisional khas masyarakat Minangkabau, disamping randang,  katupek (ketupat) dan  lainnya. Malamang  adalah proses pembuatan  yang harus dilakukan untuk membuat lamang, dan tradisi membuat lamang itu lazim disebut dengan tradisi malamang. Umumnya, masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Sumatera mengenal makanan berupa lamang (lemang) ini.

 

Tradisi membuat lamang  atau malamang dapat  ditemui di seluruh wilayah Provinsi

Sumatera Barat (baca; Minangkabau), baik di daerah darek (darat) seperti Solok, Payakumbuh, Agam, Tanah Datar, maupun di daerah pesisir pantai seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir Selatan. Tradisi malamang ini terdapat di juga di daerah lain yang dahulunya merupakan rantau Minangkabau seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi), Tebing Tinggi (Sumatera di Negeri Sembilan (Malaysia). Keberadaan malamang pada daerah-daerah tersebut diperkirakan dibawa oleh orang Minangkabau pada masa dahulu yang merantau dan kemudian menetap disana secara turun temurun. Tradisi malamang (membuat lemang) itu biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (pesta pernikahan), perayaan hari kematian, dan lain sebagainya.

 

Hal itu mencerminkan bahwa, malamang tidak saja sebagai kebiasaan atau tradisi pada waktu-waktu tertentu  oleh masyarakat  Minangkabau, melainkan juga memiliki nilai ekonomis atau dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.

 

Semarak tradisi malamang sangat terasa pada masa dahulu (sebelum tahun 1980-an) dimana setiap rumah pada waktu-waktu malamang akan membuat atau memasak lamang di halaman rumah secara bersama (tolong menolong). Kaum laki-laki dan perempuan akan bahu membahu membantu mulai dari penyiapan bahan, waktu pembakaran (memasak) hingga lamang itu siap  untuk  dimakan atau dihidangkan kepada tamu.

 

Di beberapa kabupaten di ProvinsiSumatera  Barat (Minangkabau), lamang  dijadikan sebagai barang bawaan dari keluarga perempuan ke rumah keluarga laki-laki (manjalang), atau ketika seorang menantu perempuan berkunjung ke rumah mertuanya. Rasa lamang yang enak menyebabkan lamang juga dijadikan makanan sampingan yang dikonsumsi setiap saat  karena makanan ini juga diperjualbelikan secara bebas.

 

Di Tanah Datar, tepatnya di Nagari Limokaum, keahlian membuat lamang menjadi sumber mata pencaharian keluarga dengan menjualnya pada balai atau pakan (pasar tradisional) di daerah sekitarnya. Lamang Limokaum yang dijual oleh kaum wanita itu cukup dikenal dan diminati oleh para konsumen setiap hari di Kota Batusangkar.

 

Disamping itu, daerah Sintuk Toboh Gadang Kabupaten Padang Pariaman  juga merupakan salah satu daerah yang masih menjadikan lamang sebagai makanan adat (tradisi) yang mesti ada pada acara-acara tertentu seperti  Maulud Nabi, acara kematian, dan bulan malamang (menjelang bulan Ramadhan).

 

Seiring dengan perkembangan zaman, yang cenderung mengabaikan nilai-nilai tradisional suatu masyarakat, ikut mempengaruhi keberadaan  tradisi malamang  dalam  kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi malamang ikut termarjinalkan dan bahkan dilupakan  oleh masyarakat Minangkabau, ditandai dengan sudah jarang ditemukannya masyarakat Minangkabau yang membuat lamang ketika bulan puasa datang, lebaran haji, perayaan maulud, dan lain-lain, dan dikategorikan sebagai tradisi yang hampir punah di Minangkabau.

 

Memudarnya tradisi malamang ini tidak luput dari kecenderungan atau pergeseran pola pikir masyarakat sekarang yang ingin serba instan (mudah), dilain mana proses pembuatan lamang memang memerlukan waktu yang relatif lama, dan tenaga ekstra.


Fakta bahwa tradisi malamang mulai dilupakan oleh masyarakat Minangkabau sekarang ini, tidak bisa terelakkan. Padahal, sebagai sebuah tradisi tentunya memiliki fungsi sosial dan nilai budaya yang patut dilestarikan dan dipedomani oleh generasi muda sekarang. Jika tidak ada upaya pendokumentasian dan pelestarian, niscaya tradisi ini akan semakin tergerus menjadi nostalgia masa lalu orang Minangkabau. Sehubungan dengan itu, tulisan ini berusaha menelusuri dan mengetahui lebih jauh tentang  tradisi malamang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

 

Pengungkapan  hal  tersebut  akan  memberikan  pemahaman yang  lebih mendalam  dan komprehensif tentang tradisi malamang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Perlunya kajian ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap masyarakat (suku bangsa), sebagaimana diketahui, memiliki seperangkat aturan yang mengatur pola kehidupannya sehari-hari atau yang lazim dikenal sebagai kebudayaan. Kebudayaan   adalah  keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik  diri manusia dengan  belajar (Koentjaraningrat,  1979: 193). 


Kebudayaan  merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dapat dipisahkan dalam tiga wujud yakni pengetahuan budaya (ide, gagasan), tingkah laku (aktifitas) dan budaya materi atau fisik.

 

Ketiga wujud kebudayaan itu pada dasarnya saling berkaitan dan merupakan perwujudan dari cipta karsa manusia sebagai makhluk budaya yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1979) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat  ditentukan  oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu  sendiri.

 

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi  yang lain, yang kemudian  disebut sebagai superorganic.  Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

 

Salah satu dari wujud kebudayaan itu yakni wujud tingkah laku (aktifitas), diantaranya tercermin  dari  aktifitas atau kebiasaan tradisional dalam setiap masyarakat yang diwariskan secara turun temurun, yang timbul dari konsepsi budaya masyarakat bersangkutan. Kebiasaan suatu masyarakat yang diwarisi dari generasi sebelumnya lazim juga disebut dengan tradisi.(tradition).

 

Secara umum, tradisi dianggap sebagai suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat pendukung kebudayaan yang penyebaran dan pewarisannya secara turun temurun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dalam ilmu Antropologi, tradisi merujuk pada pola-pola kepercayaan, adat istiadat, nilai-nilai, tingkah laku dan pengetahuan atau keahlian yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi  dalam populasi tertentu (Riawanti, 2003; 4).


Istilah tradisi kadang- kadang  digunakan sebagai padanan bagi istilah kebudayaan  khususnya mengenai “kebudayaan tradisoinal sehari-hari’ atau “kebudayaan rakyat” (folk culture). Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

 

Bertitik tolak dari hal diatas, difahami bahwa suatu tradisi berhubungan dengan kebiasaan pada suatu komunitas (masyarakat) yang telah berlangsung sejak lama (turun temurun) dan berkaitan dengan aktifitas bersama masyarakat. Tradisi atau kebiasaan tersebut pada dasarnya merupakan  cerminan budaya  masyarakatnya yang dipelajari dan  diwariskan pada  generasi selanjutnya.

 

Keberadaan tradisi itu sekaligus memperkuat persatuan dan kesatuan komunitas tersebut, yang dalam kehidupan sehari-hari saling membantu  agar suatu pekerjaan  dapat diselesaikan dengan baik dan cepat. Suatu tradisi pada hakikatnya mempunyai peran dan fungsi nilai budaya dalam kehidupan manusia, yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk bertingkah laku sesuai kebudayaan yang diembannya. Ahimsa Putra (2007), menyebutkan beberapa ciri-ciri dari kandungan nilai budaya (tradisi) yakni 1) Tidak terlihat (abstrak), 2) Bersifat social (dimiliki bersama),  3) Mempunyai “inti” (core value), 4) Diyakini kebenaran dan kebalikannya, 5) Terkait erat dengan perasaan, dan  6) Relatif  tidak berubah.

 

Sedangkan beberapa fungsi nilai budaya adalah sebagai 1) Pedoman umum penilaian, 2) Pedoman umum menafsir, 3) Memahami dan menjelaskan, sebagai pedoman berperilaku dan bertindak, dan  4) Dasar umum bagi norma dan aturan.

 

Berkaitan dengan makanan tradisional, pada setiap masyarakat pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari budaya lokal sebagai acuan dan mendasari cara pembuatan dan keterlibatan warga suatu kerabat. Makanan tradisional, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 1088) adalah segala sesuatu yang dikonsumsi masyarakat suatu daerah secara turun temurun guna memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ernayanti (2003: 2)  memberikan pengertian tentang  makanan tradisional memiliki  nilai budaya, tradisi, serta kepercayaan yang bersumber dari budaya lokal (local indigenous). 

 

Dananjaya (1991;182) menyebutkan bahwa dari sudut ilmu Antropologi atau  folklor, makanan  merupakan fenomena kebudayaan, oleh karena itu makan bukanlah sekedar  produksi organism dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dikonsumsi oleh  organisasi  hidup, termasuk juga untuk  mempertahankan  hidup  mereka, melainkan anggota suatu kolektif, makanan selalu ditentukan oleh kebudayaan masing-masing.

 

Ditambahkannya bahwa makanan mempunyai arti simbolik, dalam arti memiliki arti sosial, agama dan lain-lain, serta tergolong folklor bukan lisan. Menurut Dananjaya (1991; 189), upaya menelusuri atau mengkaji makanan (tradisional) suatu kelompok (suku bangsa dan lain-lain) tidak boleh melepaskannya  dari konteks  kebudayaan atau  masyarakatnya.  Dengan  jalan memperhatikan cara pengolahannya, cara penyajiannya, fungsi makanan di dalam kebudayaan dan masyarakatnya dan lain-lain.

 

Artinya, makanan jelas penting untuk kehidupan biologis, namun ia juga penting demi hubungan sosial. Foster dan Anderson (dlm Dananjaya, 1991; 187-188), menyebutkan bahwa secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat ungkapan yakni a) Ikatan sosial, b) Solidaritas kelompok,  c) Makanan dan ketegangan jiwa, dan d) Simbolisme makanan dalam bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa makanan tradisional (adat) mengandung aspek memperkuat ikatan sosial dan solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat pengembannya. Makanan yang tergolong makanan tradisional adalah  segala sesuatu yang dikonsumsi masyarakat suatu daerah secara turun temurun. Makanan tradisional itu memiliki nilai budaya, tradisi serta kepercayaan yang bersumber dari budaya lokal (local indigenous).

 

Makanan tradisional suatu daerah bisa menjadi cermin  paradaban dan budaya suatu daerah, akan tepat disuguhkan serta dinikmati oleh masyarakat itu pula (Ernayanti, 2003; 16).

 

Dalam konteks lamang (lemang) pada masyarakat Minangkabau, tentunya tidak bisa dilepaskan  dari kebudayaan Minangkabau, karena  tradisi malamang  merupakan ekspresi masyarakat  Minangkabau terhadap bentuk pemenuhan biologis dan hubungan sosial sesame mereka, baik dalam lingkup kerabat maupun masyarakat yang lebih luas. Tradisi malamang semakin memperkuat ikatan kekerabatan,  solidaritas dan simbol antara orang-orang yang sekerabat, dan terkait dengan folk culture nya yakni budaya Minangkabau. (*)

 

Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Mengenal Lebih Dalam Tradisi Malamang

Iklan