Foto: Shutterstocks |
suluah.id -- Lamang
adalah makanan khas masyarakat Minangkabau yang terbuat dari beras puluik dengan
wadah dari talang (bambu). Membuat lamang
merupakan tradisi masyarakat Minangkabau sejak dahulu dan biasa disebut dengan
tradisi malamang. Lamang dan tradisi malamang menarik dan perlu diketahui lebih
jauh terutama keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tradisi malamang merupakan
ekspresi masyarakat Minangkabau terhadap bentuk pemenuhan biologis dan hubungan
sosial sesama mereka, baik dalam lingkup kerabat maupun masyarakat yang lebih
luas. Adanya tradisi malamang semakin memperkuat ikatan
kekerabatan, solidaritas dan simbol antara orang-orang yang sekerabat. Artinya,
makanan lamang (lemang), sebagai salah satu makanan
tradisional, dan tradisi malamang terkait dengan folk culture nya
yakni budaya Minangkabau.
Aneka tradisi di Minangkabau mengandung nilai luhur
masyarakat Minangkabau yang seyogyanya tetap dijaga oleh masyarakat Minangkabau
sekarang ini. Salah satu tradisi yang
telah berlangsung sejak dahulu di Minangkabau dan sudah jarang ditemui
pada masa sekarang ini yakni tradisi malamang (membuat
lamang).
Lamang yaitu makanan
dari ketan (puluik) yang dimasak bersama
santan dan dikemas dalam wadah bambu, kemudian dimasak dengan perapian atau
unggun yang sengaja dibuat untuk itu. Makanan lamang (lemang)
merupakan salah satu makanan tradisional khas masyarakat Minangkabau, disamping
randang, katupek
(ketupat) dan lainnya. Malamang adalah proses
pembuatan yang harus dilakukan untuk
membuat lamang, dan tradisi membuat lamang itu
lazim disebut dengan tradisi malamang. Umumnya,
masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Sumatera mengenal makanan berupa lamang (lemang)
ini.
Tradisi
membuat lamang atau malamang
dapat ditemui di seluruh wilayah
Provinsi
Sumatera
Barat (baca; Minangkabau), baik di daerah darek (darat)
seperti Solok, Payakumbuh, Agam, Tanah Datar, maupun di daerah pesisir pantai
seperti Padang, Pariaman, dan Pesisir Selatan. Tradisi malamang ini
terdapat di juga di daerah lain yang dahulunya merupakan rantau Minangkabau
seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi), Tebing Tinggi
(Sumatera di Negeri Sembilan (Malaysia). Keberadaan malamang pada daerah-daerah
tersebut diperkirakan dibawa oleh orang Minangkabau pada masa dahulu yang merantau
dan kemudian menetap disana secara turun temurun. Tradisi malamang (membuat
lemang) itu biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, lebaran (Idul Fitri
dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (pesta
pernikahan), perayaan hari kematian, dan lain sebagainya.
Hal itu
mencerminkan bahwa, malamang tidak saja sebagai kebiasaan
atau tradisi pada waktu-waktu tertentu
oleh masyarakat Minangkabau,
melainkan juga memiliki nilai ekonomis atau dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga.
Semarak tradisi malamang sangat terasa pada masa dahulu (sebelum tahun 1980-an) dimana setiap rumah pada waktu-waktu malamang akan membuat atau memasak lamang di halaman rumah secara bersama (tolong menolong). Kaum laki-laki dan perempuan akan bahu membahu membantu mulai dari penyiapan bahan, waktu pembakaran (memasak) hingga lamang itu siap untuk dimakan atau dihidangkan kepada tamu.
Di
beberapa kabupaten di ProvinsiSumatera
Barat (Minangkabau), lamang dijadikan sebagai barang bawaan dari keluarga perempuan ke rumah
keluarga laki-laki (manjalang), atau ketika seorang
menantu perempuan berkunjung ke rumah mertuanya. Rasa lamang yang enak
menyebabkan lamang juga dijadikan makanan sampingan yang dikonsumsi setiap
saat karena makanan ini juga
diperjualbelikan secara bebas.
Di Tanah
Datar, tepatnya di Nagari Limokaum, keahlian membuat lamang menjadi sumber
mata pencaharian keluarga dengan menjualnya pada balai atau pakan (pasar
tradisional) di daerah sekitarnya. Lamang Limokaum
yang dijual oleh kaum wanita itu cukup dikenal dan diminati oleh para konsumen
setiap hari di Kota Batusangkar.
Disamping
itu, daerah Sintuk Toboh Gadang Kabupaten Padang Pariaman juga merupakan salah satu daerah yang masih menjadikan lamang sebagai
makanan adat (tradisi) yang mesti ada pada acara-acara tertentu seperti Maulud Nabi, acara kematian, dan bulan malamang (menjelang
bulan Ramadhan).
Seiring dengan perkembangan zaman, yang cenderung mengabaikan nilai-nilai tradisional suatu masyarakat, ikut mempengaruhi keberadaan tradisi malamang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi malamang ikut termarjinalkan dan bahkan dilupakan oleh masyarakat Minangkabau, ditandai dengan sudah jarang ditemukannya masyarakat Minangkabau yang membuat lamang ketika bulan puasa datang, lebaran haji, perayaan maulud, dan lain-lain, dan dikategorikan sebagai tradisi yang hampir punah di Minangkabau.
Memudarnya tradisi malamang ini
tidak luput dari kecenderungan atau pergeseran pola pikir masyarakat sekarang yang
ingin serba instan (mudah), dilain mana proses pembuatan lamang memang
memerlukan waktu yang relatif lama,
dan tenaga ekstra.
Fakta bahwa tradisi malamang mulai dilupakan oleh masyarakat Minangkabau sekarang ini, tidak bisa terelakkan. Padahal, sebagai sebuah tradisi tentunya memiliki fungsi sosial dan nilai budaya yang patut dilestarikan dan dipedomani oleh generasi muda sekarang. Jika tidak ada upaya pendokumentasian dan pelestarian, niscaya tradisi ini akan semakin tergerus menjadi nostalgia masa lalu orang Minangkabau. Sehubungan dengan itu, tulisan ini berusaha menelusuri dan mengetahui lebih jauh tentang tradisi malamang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Pengungkapan hal tersebut akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang tradisi malamang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Perlunya kajian ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap masyarakat (suku bangsa), sebagaimana diketahui, memiliki seperangkat aturan yang mengatur pola kehidupannya sehari-hari atau yang lazim dikenal sebagai kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1979: 193).
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dapat dipisahkan dalam tiga wujud yakni pengetahuan budaya (ide, gagasan), tingkah laku (aktifitas) dan budaya materi atau fisik.
Ketiga
wujud kebudayaan itu pada dasarnya saling berkaitan dan merupakan perwujudan
dari cipta karsa manusia sebagai makhluk budaya yang diwarisi dari generasi
sebelumnya. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (dalam
Koentjaraningrat, 1979) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat
itu sendiri.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Salah satu dari wujud kebudayaan itu yakni wujud tingkah laku (aktifitas), diantaranya tercermin dari aktifitas atau kebiasaan tradisional dalam setiap masyarakat yang diwariskan secara turun temurun, yang timbul dari konsepsi budaya masyarakat bersangkutan. Kebiasaan suatu masyarakat yang diwarisi dari generasi sebelumnya lazim juga disebut dengan tradisi.(tradition).
Secara umum, tradisi dianggap sebagai suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat pendukung kebudayaan yang penyebaran dan pewarisannya secara turun temurun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dalam ilmu Antropologi, tradisi merujuk pada pola-pola kepercayaan, adat istiadat, nilai-nilai, tingkah laku dan pengetahuan atau keahlian yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi dalam populasi tertentu (Riawanti, 2003; 4).
Istilah
tradisi kadang- kadang digunakan sebagai
padanan bagi istilah kebudayaan
khususnya mengenai “kebudayaan tradisoinal sehari-hari’ atau “kebudayaan
rakyat” (folk culture). Hal yang paling mendasar
dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi
baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu
tradisi dapat punah.
Bertitik tolak dari hal diatas, difahami bahwa suatu tradisi berhubungan dengan kebiasaan pada suatu komunitas (masyarakat) yang telah berlangsung sejak lama (turun temurun) dan berkaitan dengan aktifitas bersama masyarakat. Tradisi atau kebiasaan tersebut pada dasarnya merupakan cerminan budaya masyarakatnya yang dipelajari dan diwariskan pada generasi selanjutnya.
Keberadaan tradisi itu sekaligus memperkuat persatuan dan kesatuan komunitas tersebut, yang dalam kehidupan sehari-hari saling membantu agar suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan cepat. Suatu tradisi pada hakikatnya mempunyai peran dan fungsi nilai budaya dalam kehidupan manusia, yang menjadi acuan bagi masyarakat untuk bertingkah laku sesuai kebudayaan yang diembannya. Ahimsa Putra (2007), menyebutkan beberapa ciri-ciri dari kandungan nilai budaya (tradisi) yakni 1) Tidak terlihat (abstrak), 2) Bersifat social (dimiliki bersama), 3) Mempunyai “inti” (core value), 4) Diyakini kebenaran dan kebalikannya, 5) Terkait erat dengan perasaan, dan 6) Relatif tidak berubah.
Sedangkan
beberapa fungsi nilai budaya adalah sebagai 1) Pedoman umum penilaian, 2)
Pedoman umum menafsir, 3) Memahami dan menjelaskan, sebagai pedoman berperilaku
dan bertindak, dan 4) Dasar umum bagi
norma dan aturan.
Berkaitan dengan makanan tradisional, pada setiap masyarakat pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari budaya lokal sebagai acuan dan mendasari cara pembuatan dan keterlibatan warga suatu kerabat. Makanan tradisional, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976: 1088) adalah segala sesuatu yang dikonsumsi masyarakat suatu daerah secara turun temurun guna memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ernayanti (2003: 2) memberikan pengertian tentang makanan tradisional memiliki nilai budaya, tradisi, serta kepercayaan yang bersumber dari budaya lokal (local indigenous).
Dananjaya
(1991;182) menyebutkan bahwa dari sudut ilmu Antropologi atau folklor, makanan merupakan fenomena kebudayaan, oleh karena
itu makan bukanlah sekedar produksi
organism dengan kualitas-kualitas biokimia, yang dapat dikonsumsi oleh organisasi hidup, termasuk juga untuk mempertahankan hidup
mereka, melainkan anggota suatu kolektif, makanan selalu ditentukan oleh
kebudayaan masing-masing.
Ditambahkannya bahwa makanan mempunyai arti simbolik, dalam arti memiliki arti sosial, agama dan lain-lain, serta tergolong folklor bukan lisan. Menurut Dananjaya (1991; 189), upaya menelusuri atau mengkaji makanan (tradisional) suatu kelompok (suku bangsa dan lain-lain) tidak boleh melepaskannya dari konteks kebudayaan atau masyarakatnya. Dengan jalan memperhatikan cara pengolahannya, cara penyajiannya, fungsi makanan di dalam kebudayaan dan masyarakatnya dan lain-lain.
Artinya,
makanan jelas penting untuk kehidupan biologis, namun ia juga penting demi
hubungan sosial. Foster dan Anderson (dlm Dananjaya, 1991; 187-188),
menyebutkan bahwa secara simbolis makanan sedikitnya dapat berupa empat
ungkapan yakni a) Ikatan sosial, b) Solidaritas kelompok, c) Makanan dan ketegangan jiwa, dan d) Simbolisme
makanan dalam bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa makanan tradisional (adat) mengandung
aspek memperkuat ikatan sosial dan solidaritas sosial dalam kehidupan
masyarakat pengembannya. Makanan yang tergolong makanan tradisional adalah segala sesuatu yang dikonsumsi masyarakat
suatu daerah secara turun temurun. Makanan tradisional itu memiliki nilai
budaya, tradisi serta kepercayaan yang bersumber dari budaya lokal (local
indigenous).
Makanan
tradisional suatu daerah bisa menjadi cermin paradaban dan budaya suatu daerah, akan tepat
disuguhkan serta dinikmati oleh masyarakat itu pula (Ernayanti, 2003; 16).
Dalam konteks lamang (lemang) pada masyarakat Minangkabau, tentunya tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan Minangkabau, karena tradisi malamang merupakan ekspresi masyarakat Minangkabau terhadap bentuk pemenuhan biologis dan hubungan sosial sesame mereka, baik dalam lingkup kerabat maupun masyarakat yang lebih luas. Tradisi malamang semakin memperkuat ikatan kekerabatan, solidaritas dan simbol antara orang-orang yang sekerabat, dan terkait dengan folk culture nya yakni budaya Minangkabau. (*)