Iklan

Berikut Sejarah Keberadaan Kaum Tionghoa di Sumatera Barat

14 Mei 2022, 15:11 WIB
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straatgezicht_in_de_Chinese_wijk_TMnr_60004081 (Sumber : Wikipedia)


suluah.id - Migrasi orang Cina ke Minangkabau tidak lepas dari dunia perdagangan. Orang Cina dan dunia perdagangan ibarat lepat dengan daun. Di kalangan orang Indonesia sendiri ada mitos bahwa tanpa orang Cina sebuah kota tidak akan bisa berkembang.


Kedatangan orang Cina di Sumatera Barat sama tuanya dengan pembentukan kota-kota pantai di rantau barat Minangkabau. Buku Erniwati Asap hio di Ranah Minang: komunitas Tionghoa di Sumatra Barat (Yogyakarta: Penerbit Ombak dan Yayasan Nabil, 2007) mengungkapkan sejarah komunitas Tionghowa – sebutan untuk Cina pendatang di Indonesia – di Sumatera Barat. Namun, banyak hal yang belum digali dari sejarah kedatangan orang Cina di Ranah Minang.


Klenteng See Hin Kiong di Kota Padang, sekitar 1910. Klenteng tertua di Kota Padang ini berada di kawasan kota tua. Catatan sejarahnya, klenteng berdiri pada 1841. See Hin Kiong pernah mengalami kebakaran pada 1861 dan gempa besar pada 2009 (sumber :KITLV)


Rubrik Minang Saisuak’ kali ini menurunkan satu kodak klasik perkampungan orang Cina di Padangpanjang. Straatgezicht in deChinese wijk van Padangpandjang”(Pemandangan jalan di perkampungan Cina di Padangpanjang), demikian judul foto yang berukuran 10,2 x 12, 7 cm. ini. Foto ini dibuat sekitar 1895 atau mungkin lebih awal. Tidak ada keterangan siapa mat kodak-nya. Di latar belakang tampak perbukitan, mungkin kawasan Bukit Tui.


Belum ada kajian yang mendalam tentang sejarah kedatangan orang Cina di Padangpanjang. Ini kesempatan bagi mahasiswa (pintar) dari UNAND dan UNP untuk menelitinya. Kedatangan orang Cina di Padangpanjang didorong oleh peran baru yang dimainkan oleh kota itu sebagai kota transit perdagangan antara darek dan rantau barat Minangkabau pada pertengahan abad ke-19. 


Hasil bumi dan barang-barang yang diproduksi di darek ditumpuk dulu di Padangpanjang sebelum diangkut ke kota-kota pantai seperti Padang dan Pariaman. Begitu juga sebaliknya: Padangpanjang menjadi tempat menumpuk barang-barang yang diproduksi di daerah pantai seperti ikan asin, minyak kelapa, dan garam, sebelum didistribusikan ke kota-kota lain di darek


Kampung Cina di padang, sekitar 1890. (C. Nieuwenhuis/KITLV)


Hal diceritakan oleh Muhammad Saleh Dt. Urang Kayo Basa, pedagang besar Pariaman di abad ke-19, dalam otobiografinya, Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja (1914). Pembukaan jalan Lembah Anai yang kemudian disusul dengan pembukaan jalur kereta api dari darek ke Padang pada 1890-an makin membuat Padangpanjang maju dan menjadi titik vital perdagangan di pinggang Bukit Barisan.


Seperti di kota-kota lainnya di Indonesia, orang Cina berperan penting dalam pemribumian teknologi Barat (lihat misalnya Karen Strassler, 2010). Di Padang Panjang mereka juga aktif dalam bisnis ini, seperti fotografi, barang-barang elektronik, perbioskopan, dan lain-lain. Sekarang entah berapa banyak orang Cina yang masih tinggal di Padangpanjang. 


Yang jelas, kawasan Pecinan, dengan kontruksi fisik dan suasananya yang khas, selalu menjadi tempat yang menarik dan menjadi daya tarik tertentu bagi-kota-kota di dunia. Ia merupakan aset pariwisata sebuah kota.


Keberadaan Tionghoa di Padang dapat ditelusuri dari abad ke-17. Pada masa itu, Padang di bawah administrasi VOC mulai berkembang pesat sebagai daerah perdagangan. Aktivitas perdagangan yang ramai mengundang pendatang dari mancanegara, baik dari bangsa Eropa, Arab, India, dan juga Tionghoa.


"Pada awalnya [Tionghoa] yang datang itu bergantung pada alam, mereka menunggu siklus muson setiap 6 bulan," kata Erniwati, dosen jurusan sejarah di Universitas Negeri Padang. Setelah siklus muson ini berbalik arah ke dataran Asia, beberapa memilih untuk kembali ke negara asalnya. Akan tetapi, banyak juga yang memilih untuk tinggal menetap di sekitar pantai Padang. "Mereka berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat, banyak juga yang kawin campur dan menjadi mualaf," lanjutnya.


Menurut Erni, etnis Tionghoa di Padang telah menetap selama delapan generasi. Seiring waktu, mereka mulai menetap di sisi sungai, hingga kemudian menyebar ke pedalaman.


Proses ini membuat Tionghoa Padang membentuk sebuah identitas lokal yang unik. Mereka mulai mengadopsi nilai-nilai lokal yang berasal dari orang Minangkabau yang menjadi mayoritas di Padang.


Pada mulanya imigran Cina yang datang hanya laki-laki, sehingga terjadi perkawinan dengan wanita pribumi yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa peranakan. 


lmigran Cina yang datang setelah akhir abad XIX membawa wanitanya yang kemudian membentuk komunitas Tionghoa totok. Orang Tionghoa banyak tinggal di daerah pesisir, namun sejak pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang hak milik tanah liar pada tahun 1873, banyak orang Tionghoa yang tinggal di kota-kota di pedalaman Sumatera Barat, seperti di Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Sawahlunto, Solok. 


Biasanya mereka tinggal secara berkelompok di daerah pecinan. Orang Tionghoa berhasil membangun perekonomiannya dengan keahliannya dalam berdagang. Walaupun dengan kesempatan yang terbatas, namun mereka mampu menguasai beberapa komoditi penting, terutama ekspor dan impor serta peranannya yang penting dalam perekonomian desa dengan memperkenalkan sistim mindering dan julu-julu. 


Orang Tionghoa di Sumatera Barat menganut sistem kekeluargaan bilineal dan selalu mengharuskan untuk menghor ti orang tua (xiao). Sebagian besar orang Tionghoa di Sumatera Barat meng r ut ajaran Konghucu. Sebagian menganut ajaran Budha, Kristen, dan sebagian kecil Islam, namun mereka pada umumnya lebih mendahulukan pelaksanaan upacara leluhur. 


Anak-anak Tionghoa belajar di sekolah khusus untuk orang Tionghoa yaitu Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau di sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 yaitu, Hollands Chineesche School (HCS). Tionghoa peranakan aktif dalam politik di Hindia Belanda, sedangkan Tionghoa totok berorientasi kepada budaya dan negara leluhur Cina dengan aktif menjalankan propagandapropaganda politiknya melalui bidang pendidikan (THHK). 


Tionghoa peranakan yang memperoleh pendidikan Eropa mendirikan Chung Hua Chung Hui (CHCH) dan mempunyai wakilnya di Minangkabau Raad.(Dihimpun dari berbagai sumber) 


Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Berikut Sejarah Keberadaan Kaum Tionghoa di Sumatera Barat

Iklan