Iklan

Ragam Peninggalan Masa Klasik di Sumatera Barat

17 Juli 2023, 10:50 WIB



Suluah.id - Pulau Sumatera (Svarnabhumi) memiliki beberapa peninggalan dari masa klasik (masa pengaruh Hindu/Budha) antara lain berupa candi. Beberapa candi yang sudah cukup dikenal antara lain Candi Muara Takus di Riau dan Candi Bahal di Sumatera Utara, sedangkan candi-candi yang ada di Sumatera Barat belum banyak diketahui, kecuali kalangan tertentu yang berkepentingan dengan penelitian.  

Gambaran orang terhadap Sumatera Barat atau lebih dikenal sebagai Ranah Minangkabau masih berupa rumah gadang, tari piring, ataupun tentang kehidupan kebudayaan dan keagamaan yang kental. Padahal Ranah Minangkabau sebenarnya mempunyai cukup banyak peninggalan budaya masa lalu akibat dari persentuhannya dengan agama dan kebudayaan Hindu-Budha.  

Pengaruh budaya Hindu-Budha di Sumatera Barat berdasarkan bukti-bukti yang ada dimulai pada tahun 1208 Saka atau 1286 M, yaitu sejak peristiwa Ekspedisi Pamalayu. Dari sumber sejarah Indonesia Kuno, khususnya berupa naskah Jawa Kuno seperti Kitab Pararaton dan Kitab Negarakrtagama, disebutkan bahwa tahun 1275 M Raja Krta-nagara mengirimkan tentaranya ke Malayu. 

Pengiriman tentara yang dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu ini dimaksudkan untuk menjalin persahabatan antara Singhasari (Jawa) dengan Malayu Dhar-masraya (Sumatera) untuk bersama-sama menahan ekspansi Kaisar Khubilai Khan dari Cina.

Untuk mempererat persahabatan kedua kerajaan tersebut, Krtanegara kemudian mengirimkan Arca Amoghapasa pada tahun 1286 M kepada Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yang berkuasa di Malayu Svarnabhumi. Amoghapasa merupakan pahatan kelompok arca yang terdiri dari dewa Amoghapasa, sejenis penjelmaan Boddhisattwa Awalokiteswara (salah satu dewa dalam agama Budha) yang bersifat demonis (menakutkan), diiringi dengan 13 dewa-dewa lainnya. 

Arca tersebut kemudian ditempatkan di Dharmasraya (Marwati Djoened, 1990:83–85), sebuah tempat yang oleh para ahli diduga sebagai pusat kerajaan Malayu Svarnabhumi. Arca Amoghapasa ini kemudian ditemukan kembali di Rambahan, sedangkan lapik (alas) arcanya ditemukan terpisah sekitar 7 km dari Rambahan, yaitu di Padangroco (Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat). 

Belum diketahui dengan pasti penyebab terpisahnya arca dengan lapiknya tersebut. Apakah memang pernah sengaja dipindahkan atau tidak, satu hal yang pasti, pada masa yang lebih kemudian di situs Padangroco ini ditempatkan arca Bhairawa yang pada tahun 1935 dipindahkan ke Bukittinggi, kemudian dibawa ke Jakarta dan sekarang berada di Museum Nasional Jakarta (Rusli Amran, 1981: 14). 

Melihat posisi keletakan antara Situs Padangroco, Situs Rambahan, dan Situs Pulau Sawah (tempat keberadaan Kompleks Candi Pulau Sawah), agaknya ketiga situs ini pernah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai tempat yang penting semasa kerajaan Malayu Dharmasraya. Keletakan ketiga situs ini relatif berdekatan dengan jarak sekitar 4–7 km (ketiga-tiganya sekarang masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat). 

Selanjutnya, oleh sebab-sebab yang belum diketahui dengan pasti, semasa Raja Adityawarmman berkuasa pusat Malayu Dharmasraya yang berada DAS Batanghari ini kemudian dipindahkan ke daerah Pagarruyung, Batusangkar (Kabupaten Tanah Datar, Suma-tera Barat). 

Bukti pemindahan pusat kekuasaan politik ini ditandai dengan banyaknya Prasasti Adityawarmman yang ditemukan di sekitar Pagarruyung. Berdasarkan prasasti Saruaso I, pusat pemerintahan semasa Adityawarmman kemungkinan di Surawasa dan sekarang berubah nama menjadi Desa Saruaso, sekitar 3 km di sebelah selatan Pagarruyung (Casparis, 1989).

Situs-situs di sepanjang DAS Batanghari semenjak abad XIX telah menjadi bahan penelitian yang berkesinambungan. Orang Belanda yang pertama kali menaruh perhatian terhadap kepurbakalaan di DAS Batanghari adalah Verkerk Pistorius (1868), seorang kontrolir Belanda, yang menulis bahwa di DAS Batanghari pernah berkembang kebudayaan Hindu. 

Kemudian dalam perjalanannya ke pedalaman Sumatera Barat tahun 1920, Van Stein Callenfels menguraikan tentang adanya sisasisa bangunan candi bata di tempat ditemukannya arca perwujudan Adityawarmman. Pada tahun 1935, F.M. Schnitger melanjutkan penggalian dari hasil laporan Callenfels. Tahun 1956 dan 1987, JG de Casparis meneliti secara intensif prasasti-prasasti masa Adityawarmman yang banyak ditemukan di wilayah Batusangkar. 

Peneliti-peneliti Belanda lainnya yang khusus menulis tentang temuan arca dan prasasti yang ada di DAS Batanghari antara lain Van den Bosch, Kern, Pleyte, Cohen Stuart, dan Stutterheim.

Perhatian kembali secara intensif terhadap kepurbakalaan di DAS Batanghari baru dimulai tahun 1991 semenjak berdirinya Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sumatera Barat dan Riau (sekarang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar). 

Dalam pada itu, pihak Balai Pelestarian telah beberapa kali melakukan riset bersama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional berupa survai dan ekskavasi pada tahun 1991, 1992, 1993, dan 1994.  Di Situs Pulausawah terdapat 9 buah munggu (gundukan tanah) yang mengandung struktur bata di dalamnya. 

Dari 9 buah munggu tersebut telah berhasil dilakukan ekskavasi terhadap 2 buah munggu dan kemudian diketahui bahwa ternyata munggu masih menyisakan struktur bangunan candi bata yang masih dapat direkonstruksi bentuk kaki candinya. Bangunan di Situs Pulau Sawah juga memiliki ciri khusus, yaitu dikelilingi oleh anak-anak sungai di sekitar kompleks bangunannya.  

Dari ekskavasi pada salah satu munggu, yang kemudian disebut sebagai Candi Pulausawah I, diketahui bahwa ukuran bangunan tersebut 7,40 x 6,50 m. Sisi utara dan selatan membentuk penampil dua buah. Dari pengamatan fisik diketahui bahwa bata-bata tersebut berkualitas cukup baik dan dibuat dari bahan kaolin yang dicampur dengan tanah liat berpasir. 

Suhu pembakarannyapun sudah cukup tinggi. Berdasarkan pada ukuran, ada tiga jenis ukuran bata, yaitu ukuran 38 x 21x 7 cm, 43 x 23 x 8 cm, dan 41 x 21 x 8 cm. Selain struktur bangunan yang tersusun dari bata, juga ditemukan struktur yang tersusun dari batu kali (andesit) yang mengelilingi bagian kaki bangunan. Di samping Candi Pulau Sawah, di seberang sungai (arah perkampungan) terdapat situs lagi yang disebut dengan Situs Candi Bukik Awang Maombiak. Lokasinya berada di dalam hutan karet milik penduduk setempat. 

Dari hasil penggalian yang pernah dilakukan diketahui bahwa di situs ini terdapat bangunan bata yang diduga sebagai candi. Bangunan ini masih menyisakan bagian kaki candi yang sudah rusak, sedangkan pada bagian tubuh ke atas sudah hilang. Pada salah satu kotak galian pernah ditemukan hiasan makara yang biasanya diletakkan pada arah pintu masuk. 

Kondisi bangunan yang tersisa sudah cukup parah tingkat kerusakannya, sehingga sulit untuk menentukan bentuk dan denah bangunan aslinya.  Pada bagian hulu DAS Batanghari masih ditemukan adanya situs, yaitu Situs Rambahan. Situs ini merupakan situs yang penting karena merupakan lokasi ditemukannya Arca Amoghapasa yang dikirimkan oleh Krtanagara untuk Kerajaan Malayu Dharmasraya. Situs ini berada di daerah persimpangan antara Sungai Batanghari dan Sungai Pingian (anak Sungai Batanghari). 

Pada areal Situs Rambahan atau situs Bukik Braholo saat ini dimanfaatkan untuk kebun karet penduduk setempat. Penampakan yang dijumpai hanya berupa bekas tanggul tanah yang membatasi lokasi situs dengan tebing Sungai Batang Pingian. Bekas tanggul ini sudah hampir rata dengan permukaan tanah di sekitarnya. Tidak jauh dari Situs Pulau Sawah, sekitar 5 km ke arah hilir, terdapat Situs Padangroco (sekarang lebih dikenal sebagai Situs Sungailangsat). 

Keberadaan situs ini dilaporkan pertamakalinya oleh Westenenk pada tahun1909. Dalam laporannya, ia menguraikan bahwa di Padangroco telah ditemukan gundukan bata yang dikelilingi parit buatan. Keterangan serupa diberitakan juga oleh Schnitger tahun 1937 yang menyebutkan bahwa di daerah Padang Roco telah ditemukan Arca Bhairawa dan candi bata. 

Berbeda dengan Amoghapasa, Arca Bhairawa sering ditafsirkan sebagai perwujudan Raja Adityawarmman yang sedang melakukan upacara pengorbanan hewan atau mayat. Arca ini berukuran tinggi 4,41 meter dan berat 4 ton. Arca ini dulunya diletakkan di tepian Sungai Batanghari.  Di situs Sungai Langsat terdapat kompleks percandian yang dinamakan Candi Padangroco. 

Kegiatan ekskavasi (penggalian arkeologis) di Candi Padangroco pertama kali dilakukan pada tahun 1992 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sumbar-Riau dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dari hasil penggalian telah ditemukan 3 buah bangunan candi, yang terdiri dari candi induk dan candi perwara (pengiring). 

Pemugaran terhadap candi tersebut dilakukan sejak tahun 1995 sampai 2004 melalui Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Sumatera Barat. Bangunan Candi I terdiri dari konstruksi susunan bata, berdenah bujur sangkar berukuran 21 x 21 m, dan tinggi bangunan yang tersisa 0,90 m. Pintu dan tangga masuk terdiri dari 4 buah dengan orientasi barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya.  

Bentuk susunan bangunan Candi I memperlihatkan adanya gejala penambahan yang ditempelkan lebih kemudian setelah candi ini selesai dibangun. Bangunan tambahan ini secara struktural sama sekali lepas dari bangunan asli yang tersembunyi di belakangnya, sehingga ada kesan antara struktur bangunan asli dan bangunan tambahan tampak terpisah. Pintu masuk atau tangga bangunan ini dibuat semacam penampil yang menjorok ke muka sekitar 2,50 m, dan lebar 3,80 m. Pintu masuk tersebut memiliki lima buah anak tangga.

Di kiri-kanan tangga masuk terdapat pelipit tangga dengan panjang 2 m, dan lebar 0,74 m. Kondisi pelipit tangga sekarang sebagian sudah runtuh. Hilangnya sebagian struktur bangunan dan pelipit tangga pintu masuk telah menyebabkan ukuran ketebalan tembok dari masingmasing pelipit tangga sulit diketahui. Struktur pondasi bangunan candi berupa campuran kerikil, kerakal, dan batu pasir dengan ketebalan 0,80 m dari lapis bata terbawah. 

Bagian bangunan yang masih utuh sampai sekarang adalah bagian kaki candi yang terdiri dari 26 lapis bata di sisi timurlaut, dan 22 lapis bata di sisi baratlaut. Hal ini menunjukkan bahwa dinding bata di sisi timurlaut relatif masih utuh jika dibandingkan dengan struktur sisi lainnya. Melihat pola susun bangunannya, candi ini menunjukkan adanya pola susun yang teratur. 

Hal ini ditunjukkan oleh keteraturan susunan bata sehingga terlihat susunan yang berpola. Adapun jika dilihat dari sistem pemasangan bahan bangunan pada Candi I menunjukkan adanya sistem gosok. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan pada sebagian bata yang masih insitu, terlihat adanya sisa goresan yang mempunyai arah yang sejajar dengan panjang bata. Bukti lain adalah adanya bubukan bata halus antara bata satu dengan bata lain di atasnya yang masih intak dan melekat.  Candi II merupakan candi bata, berdenah bujur sangkar, berukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi bangunan yang masih tersisa sekarang 1,28 m. Pintu masuk dan tangga yang menjadi arah hadap terletak di sisi barat sehingga bangunan tersebut berorientasi ke barat daya-timur laut. Candi II ini sudah selesai dipugar. 

Candi III merupakan bangunan bata, berdenah bujur sangkar terdiri dari 3 undakan. Undakan pertama terletak paling atas berukuran 2 x 2 m, dengan tinggi bangunan yang masih tersisa terletak di bagian selatan, terdiri dari 7 lapis bata. 

Bangunan Candi III mempunyai teknologi pemasangan yang berbeda dengan Candi I, dimana pondasi candi langsung diletakkan di atas tanah asli yang telah diratakan permukaan tanahnya. Jika dilihat dari pola susun batanya, candi ini mempunyai pola susun teratur. Hal ini ditunjukkan oleh kesamaan pola susunan bata antara satu dengan yang lainnya. Sistem pemasangan Candi III ini hanya menggunakan sistem tumpang tanpa dilakukan penggosokan terlebih dahulu. 

Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya sisi goresan pada permukaan bata dan juga tidak terlihat sisa bubukan bata yang dapat berfungsi sebagai perekat bata antara satu dengan yang lainnya. Masih di sekitar DAS Batanghari, sekitar 6 km ke arah hilir terdapat Situs Padanglaweh. Situs Padanglaweh secara administratif berada di Nagari Padanglaweh, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Lokasi situs ini relatif jauh dan berada di daerah pedalaman di sekitar daerah PIR Kelapa Sawit Desa Timpe VII. Di situs ini ditemukan sebaran bata-bata kuno di atas permukaan tanah. 

Adapun lokasi keberadaan candinya belum diketahui dengan pasti. Selain di sekitar DAS Batanghari yang mempunyai peninggalan dari masa klasik, daerah lain yang mempunyai tinggalan candi adalah Kabupaten Pasaman, Sumatera  Barat. Di daerah ini terdapat beberapa bangunan candi yang diduga berasal dari masa yang sama dengan masa Adityawarmman, sekitar abad XII–XIV M, yaitu Candi Tanjung Medan dan Candi Pancahan.

Candi Tanjung Medan terletak sekitar 20 km arah utara dari Kota Lubuk Sikaping dan secara administratif berada di wilayah Tanjung Medan, Nagari Petok, Kecamatan Panti, Kab. Pasaman. Secara geografis, Candi Tanjung Medan berada pada tanah dataran, dengan ketinggian sekitar 300 m di atas permukaan laut. Situs tersebut relatif dekat dengan dua buah sungai yang mengelilinginya, yaitu Sungai Batang Sumpur dan Pauh Gadis. 

Pada saat ini, di sebalah barat candi terdapat saluran irigasi yang berbatasan dengan pagar candi. Candi Tanjung Medan ditemukan secara tidak sengaja pada saat pembangunan irigasi yang memotong bangunan candi. Oleh Balai Pelestarian jalur irigasi yang semula memotong bangunan candi tersebut kemudian dibelokan sekitar 100 m ke sebelah baratnya.  Sampai saat ini sumber sejarah yang berkaitan langsung dengan Candi Tanjung Medan belum ditemukan, sehingga latar sejarah candi tersebut secara pasti belum diketahui. 

Namun demikian, berdasarkan sisa-sisa candi yang ditemukan menunjukkan adanya kesamaan dengan candi yang berada di sepanjang DAS Batanghari yang secara periodisasi berasal dari abad XIII–XIV M. Adapun latar belakang keagamaannya, berdasarkan temuan lempengan emas (yang di dalamnya terdapat mantra-mantra Budha) oleh EE. Mc. Kinnon dipastikan bahwa Candi Tanjung Medan berlatar belakang agama Budha. Di kompleks Candi Tanjung Medan terdapat 6 buah bangunan yang tersebar pada areal seluas ± 18.000 m2. 

Dari 6 buah bangunan yang ditemukan tersebut yang masih dalam proses pemugaran adalah Candi I, II, dan Candi VI, sedangkan candi-candi lainnya hanya merupakan struktur bata yang menyisakan beberapa lapis bata saja dengan kondisi rusak. Candi I berbentuk bujur sangkar berukuran 8,9 x 8,9 m2 dengan tambahan penampil di sisi timur berukuran 4,05 x 2,95 m2. Candi II berukuran 8,88 x 8,88 m2 dengan tambahan penampil 2 buah berukuran 2,56 m x 1,4 m. Bangunan candi II ini diduga sebagai perwara dari candi induk (Candi I). 

Candi VI berbentuk bujur sangkar berukuran 11,7 x 11,7 m. Candi VI ini diduga sebagai gapura pintu masuk ke situs tersebut. Tidak jauh dari Candi Tanjung Medan kira-kira sekitar 10 km ke arah utara terdapat Candi Pancahan. Kondisi candi ini tinggal puingpuing pada bagian kakinya. Bata-batanya berserakan dan sudah banyak yang hilang. Namun, sebagai bagian dari hasil kebudayaan yang hilang di Sumatera Barat, candi ini tetap sebagai data arkeologis yang sangat penting.  

Bukti-bukti lain yang berasal dari masa Hindu-Budha selain candi adalah batu-batu bersurat (prasasti) yang banyak terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Kabupaten ini merupakan daerah yang terkaya dengan peninggalan prasasti dari masa Melayu Kuna (sekitar abad ke13/14 M). Prasasti-prasasti tersebut sebagian besar dikeluar-kan oleh Raja Adityawarmman yang memerintah sekitar pertengahan sampai seperempat akhir abad XIV M. 

Sumber sejarah Indonesia Kuna (naskah) menyebutkan bahwa Adityawarmman adalah anak Dara Jingga yang merupakan salah satu putri raja Melayu dengan keluarga Kerajaan Singhasari yang bernama Dewa. Perkawinan ini menurunkan anak yang kemudian diberi nama Aji Mantrolot atau Tuhan Janaka (berdasarkan Kitab Pararaton). 

Disebutkan pula bahwa Aji Mantrolot akhirnya menjadi Raja di Tanah Melayu dan bergelar Adityawarmman yang mengandung arti matahari dari keluarga Warmma (dewa). Adapun menurut versi prasasti yang ada disebutkan bahwa Adityawarmman adalah anak dari Adwayawarmman (Prasasti Kuburajo I). Dia mempunyai saudara yang bernama Akarendrawarmman (Prasasti Pagarruyung VII). Anaknya bernama Ananggawarmman (Prasasti Saruaso II) dan mungkin juga seorang lagi bernama Bijayendrawarmman (Prasasti Lubuk Layang, Kab. Pasaman). 

Jumlah prasasti yang pernah ditemukan di daerah Tanah Datar sekitar 22 buah yang tersebar di beberapa kecamatan. Beberapa buah prasasti yang ditemukan sekitar Pagaruyung telah dikumpulkan dalam suatu tempat yang kemudian disebut dengan nama Kompleks Prasasti Adityawarman. Lokasinya berada di pinggir jalan raya antara Batusangkar-Pagarruyung dengan kondisi terawat baik. 

Keberadaan beberapa tinggalan arkeologis masa Hindu-Budha sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa wilayah Sumatera Barat sangat potensial untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata budaya dan sejarah. Selain tempatnya yang sangat strategis, karena situs-situs tersebut yang berada di sekitar DAS Batanghari yang merupakan jalur lalu-lintas air yang sampai kini dipergunakan, juga karena beberapa tinggalan tersebut dari aspek arkeologis merupakan suatu data yang sangat penting untuk merangkai kembali perjalanan sejarah Sumatera Barat. 

Namun, masih disayangkan disisi lain sampai saat ini rupanya belum terlihat secara demonstratif respon pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikan dan mengembangkan potensi yang ada tersebut. Padahal jika pemerintah daerah setempat mau jeli, aset tersebut bisa dikelola lebih lanjut sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang ujung-ujungnya tentu dapat mendongkrak pendapatan asli daerah. [*]
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Ragam Peninggalan Masa Klasik di Sumatera Barat

Iklan