Iklan

Catatan Kritis Kesehatan Indonesia

09 Oktober 2024, 11:09 WIB



Oleh : dr. GAMAL


SULUAH.ID - Indonesia sedang menghadapi Triple Burden Disease yaitu masih adanya Penyakit Menular (Communicable Disease), tingginya angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease), dan munculnya penyakit baru (New Emerging Infectious Disease). Apa saja masalah kesehatan kita hari ini?

1. Peningkatan Penyakit Tidak Menular
Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun jumlah kematian berdasarkan penyebabnya. Data ini dihimpun sejak 1 Januari 2017 hingga 2020/2022, saat long form sensus penduduk dilakukan. Secara keseluruhan jumlah kematian mencapai 8,07 juta kasus pada kurun waktu tersebut. Dari jumlah tersebut, penyebab terbanyak berasal dari sakit karena penyakit tidak menular, dengan 7,03 juta kasus. Data WHO menunjukkan terdapat 10 penyakit sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia, diantaranya stroke 131,8, jantung iskemik 95,68, Diabetes 40,78 kasus kematian per 100 ribu penduduk.

Hal ini juga sesuai dengan biaya kasus Penyakit di BPJS Kesehatan tahun 2023, dimana Penyakit jantung menjadi Penyakit dengan biaya BPJS Kesehatan tertinggi dengan 10,28 triliun, dikuti kanker 3,54 triliun, dan stroke 2,55 triliun.

2. Undernutrisi
Gizi merupakan salah satu aspek kunci bagi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan bangsa. Berdasarkan hasil SKI 2023, prevalensi stunting sebesar 21,5%. Sekitar 1 dari 5 balita di Indonesia mengalami stunting dengan kasus terbanyak pada kelompok usia 24 sampai 35 bulan.

Prevalensi stunting mengalami penurunan lambat selama 10 tahun terakhir (2013-2023), dari 30,8% (2018), 27,67% (2019), 24,4% (2021), 21,6% (2022), hingga 21,5% (2023). Untuk tahun 2024 ini target yang perlu dicapai adalah 14%, yaitu masih 7,5 persen dari capaian tahun 2023. Tahun 2023 terdapat 11.896.367 keluarga yang beresiko stunting (BKKBN) yang berpotensi menghambat penurunan prevalensi stunting.

Anggaran yang sudah dialokasikan untuk penangan stunting sebenarnya sudah cukup memadai, namun kinerja anggaran tersebut belum mencapai target yang diharapkan. Ditahun 2021 dengan anggaran 35.3T angka stunting turun 1,7% (2022), Tahun 2022 anggaran 34.1T angka stunting turun 0.1% (2023) dan di tahun 2023 anggaran 30 T dengan harapan angka stunting turun sekitar 7% di tahun 2024.

3. Overnutrisi
Menurut data International Diabetes Federation (IDF) 2021, Indonesia kini menduduki peringkat lima sebagai negara dengan kasus diabetes terbanyak di dunia. Menurut data IDF 2021, ada 19,5 juta orang Indonesia berumur 20-79 tahun yang kena diabetes di Indonesia. Pada tahun 2011, kasus diabetes di Indonesia masih ada di angka 7,29 juta. Artinya, kasus diabetes di Indonesia meningkat 166,94 persen dalam 10 tahun terakhir. IDF juga memprediksi Indonesia masih akan menduduki peringkat 5 di 2045 mendatang. Perkiraannya, kasus diabetes Indonesia akan mencapai 28,6 juta atau meroket 46,6 persen.

Menurut data Global Nutrition Report, kasus obesitas di Indonesia juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2019, kasus obesitas di Indonesia mencapai 14,8 juta kasus. Artinya ada peningkatan sekitar 4 kali lipat sejak tahun 2000 lalu.

Satu orang Indonesia mengonsumsi gula pasir sebanyak 160gram dalam sehari. Angka tersebut jelas lebih besar daripada anjuran Kemenkes atau bahkan WHO. Sebab konsumsi gula pasir di Indonesia 6 kali lebih tinggi anjuran WHO yaitu 25 gr per hari dan maksimal 50gr per hari.

4. Sedentary Lifestyle
Sedentary Lifestyle adalah kegiatan mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di luar waktu tidur, dengan karakteristik keluaran kalori sangat sedikit yakni <1.5 METs. Dampak dari perilaku sedenter adalah obesitas, penyakit jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan depresi.

Di Indonesia, penduduk usia >10 tahun memiliki perilaku sedenter 3-5,9 jam per hari. Penelitian  tentang aktivitas fisik dan kebiasaan sedenter pemuda Indonesia menunjukkan prevalensi aktivitas fisik yang “cukup” hanya berkisar antara 12,2% dan 52,3%, sedangkan prevalensi perilaku sedentary ≥3 jam per hari berkisar antara 24,5% dan 33,8%. 

5. Gangguan Mental Pemuda
Survei mengenai kesehatan mental pada remaja di Indonesia tahun 2022, mendapatkan hasil 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental. Sebanyak 1% remaja mengalami depresi, 3,7% cemas, post traumatic syndrome disorder (SPTSD) 0,9%, dan attention-deficit/ hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5%. Secara Nasional, prevalensi depresi di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 1,4%. Prevalensi depresi paling tinggi ada pada kelompok anak muda (15-24 tahun), yaitu sebesar 2%.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyatakan bahwa 6,2% penduduk berusia 15-24 tahun mengalami depresi, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Depresi merupakan penyebab utama disabilitas pada remaja. Depresi dapat menjadi penyebab bunuh diri, dan bunuh diri merupakan penyebab ke-4 kematian pada remaja di dunia. Kebanyakan dari gangguan psikologis tersebut tidak disadari dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

6. Polusi Udara
Laporan Indeks Kualitas Udara Kehidupan (AQLI) menyebut Indonesia sebagai satu dari enam negara yang paling berkontribusi terhadap polusi udara global. Polusi udara partikulat halus (PM2.5) memperpendek harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia hingga 1,4 tahun, dibandingkan dengan harapan hidup jika pedoman WHO (5 µg/m³) terpenuhi.

Hampir seluruh dari 272 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah yang tingkat polusi partikulat tahunannya melebihi guideline WHO. Lebih dari separuh penduduk tinggal di daerah yang melebihi standar nasional sebesar 15 µg/m³.

Diukur dari segi harapan hidup, polusi partikulat merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat Indonesia, yang mengurangi 1,4 tahun harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia. Sebaliknya, diabetes dan infeksi ginjal mengurangi harapan hidup rata-rata hingga 1,2 tahun, sementara infeksi pernapasan mengurangi harapan hidup hingga 1 tahun. Masyarakat yang tinggal di Jakarta sebagai provinsi dengan polusi tertinggi di Indonesia akan kehilangan harapan hidup rata-rata hingga 2,4 tahun jika dibandingkan dengan guideline WHO,

7. Jumlah dan Distribusi Tenaga Kesehatan.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), per tanggal 24 April 2024 ada 279.321 dokter yang teregistrasi di Indonesia terdiri dari dokter umum 174.407 orang (62,4%), dokter spesialis 53.779 orang (19,3%), dokter gigi 45.492 orang (16,3%), dan dokter gigi spesialis 5.643 orang (2%).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO: World Health Organization) merekomendasikan setiap negara di dunia harus berusaha memenuhi kriteria “Golden Finishing Line”, yaitu rasio dokter terhadap penduduk atau pasien mencapai 1:1000. Satu dokter untuk seribu warga. Dengan penduduk Indonesia Agustus 2024 sebesar 282 juta jiwa, maka Indonesia idealnya memiliki 282 ribu dokter untuk memenuhi garis akhir emas. Dengan demikian kita kekurangan 108 ribu dokter.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data WHO, rasia dokter di beberapa negara ASEAN, Singapura 2,4 dokter per 1.000 penduduk, Malaysia 2,2 per 1.000 penduduk, dan Brunei per 1.000 penduduk

Kita juga memiliki masalah distribusi tenaga kesehatan, dimana masih terdapat 436 Puskesmas tanpa Dokter dan 75% dari puskesmas tersebut berada di wilayah Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK). Sebanyak 50% puskesmas di Maluku dan Papua tidak memiliki dokter.

8. Peningkatan Biaya Kesehatan
Hasil riset Mercer Marsh Benefits (MMB) pada Health Trends 2023 menyarakan bahwa Medical Trend Rate di Indonesia diproyeksikan meningkat hingga 13,6 persen di 2023. Prediksi biaya kesehatan di Indonesia lebih tinggi dari Asia sebesar 11,5 persen dan lebih tinggi dari inflasi keuangan Indonesia tahun 2022 sebesar 5,5 persen. Inflasi biaya kesehatan ini adalah kondisi yang terjadi sebagai salah satu dampak dari inflasi ekonomi yang terjadi setiap tahun.

Peningkatan biaya medis tersebut juga berdampak pada peningkatan klaim asuransi kesehatan, termasuk BPJS. Laporan AAJI menyatakan klaim kesehatan mengalami peningkatan 24,9% year-on-year dari Rp 16,68 triliun pada 2022 menjadi Rp 20,83 triliun pada 2023. Terjadi peningkatan klaim asuransi kesehatan sebesar 32,9% secara year on year.

Kenaikan juga terjadi pada klaim BPJS Kesehatan dari 90,33 triliun pada tahun 2021, 113,47 triliun pada tahun 2022, hingga 158,85 triliun pada tahun 2023. BPJS Kesehatan mengalami pendapatan tertinggi tahun 2023 dengan total pendapatan 151,46 triliun, namun mengalami defisit 7,9 triliun.

Peningkatan biaya kesehatan terjadi karena inflasi biaya alat-alat medis, obat, dan perawatan, peningkatan teknologi kesehatan, dan tertundanya banyak perawatan selama pandemi. Di Indonesia banyak alat medis dan Bahan Baku Obat (BBO) impor dengan biaya pajak yang tinggi. Hal ini sebagai akibat lemahnya riset medis di Indonesia. Peningkatan biaya kesehatan ini juga hasil positif dari meningkatnya kesadaran tentang kesehatan pasca-pandemi COVID19, akses informasi kesehatan yang lebih mudah secara digital, dan peningkatan sosio-ekonomi masyarakat.

9. Tantangan Anggaran Kesehatan
Dalam lima tahun terakhir anggaran fungsi kesehatan terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan dari sebesar Rp 119,9 triliun pada tahun 2020, menjadi Rp 124,4 T pada tahun 2021, menjadi Rp 134,8 T pada tahun 2022, menjadi Rp 172,5 T pada tahun 2023, dan sebesar Rp 186,4 T pada tahun 2024. Anggaran kesehatan tersebut utamanya terkait penanganan pandemi COVID dan membayar premi PBI BPJS.

Data BPS februari 2024 menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang dan setengah menganggur 12,11 juta orang. Mereka berpotensi tidak mampu membayar iuran BPJS dan Pemerintah perlu mempersiapkan anggaran untuk peningkatan peserta PBI. Hal itu dikuatkan dari data Sistem Monitoring DJSN dimana 20,5% atau 55 juta Jiwa status BPJS tidak aktif karena tidak membayar atau menunggak iuran. Mulai januari hingga Mei 2024 terjadi peningkatan peserta tidak aktif. Selain itu terjadi peningkatan peserta BPJS kelas 3 dmenjadi 192 juta di tahun 2024 yang membutuhkan subsidi iuran dari Pemerintah.

WHO mendorong negara-negara untuk mengalokasikan anggaran minimal 15% dari total anggaran negara atau setara dengan 5% dari PDB. Oleh karena itu, hilangnya mandatory spending dalam RUU kesehatan saat pembiayaan kesehatan meningkat signifikan adalah regresi dalam regulasi kesehatan.(*) 
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Catatan Kritis Kesehatan Indonesia

Iklan