SULUAH.ID - Kisah seputar shalat tarawih berjamaah selalu menarik untuk dibahas, terutama saat bulan Ramadan tiba. Tahukah kamu? Nabi Muhammad SAW hanya memimpin shalat tarawih berjamaah di masjid selama tiga malam. Tapi, mengapa hanya tiga malam saja, ya?
Ummul Mukminin, Aisyah RA, menceritakan bahwa setelah tiga malam pertama shalat tarawih berjamaah, pada malam keempat, Nabi Muhammad SAW tidak hadir ke masjid untuk menjadi imam seperti malam-malam sebelumnya. Para sahabat yang sudah berkumpul semakin banyak dan menunggu kehadiran beliau, merasa penasaran. Keesokan harinya, mereka pun bertanya kepada Nabi, "Mengapa Anda tidak hadir tadi malam?"
Ternyata, Nabi menjawab dengan penuh kebijaksanaan: "Saya tahu apa yang kalian lakukan tadi malam (shalat berjamaah), tetapi saya khawatir jika shalat tarawih berjamaah ini akan diwajibkan atas kalian." (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, Nabi tidak ingin memberatkan umatnya dengan kewajiban baru.
Era Abu Bakar dan Umar: Lanjutan Kisah Tarawih
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, umat Islam dipimpin oleh Khalifah Abu Bakar. Namun, selama masa pemerintahannya, Abu Bakar tidak sempat mengatur pelaksanaan shalat tarawih berjamaah karena kesibukannya menjaga stabilitas politik dan keamanan negara, termasuk menghadapi kaum yang murtad dan menolak membayar zakat. Shalat tarawih pun dilaksanakan oleh umat secara terpisah atau berkelompok kecil.
Barulah di era Khalifah Umar bin Khattab, muncul perubahan besar dalam pelaksanaan tarawih. Umar melihat kondisi umat yang shalat secara terpisah di masjid, lalu berinisiatif menyatukan mereka dalam satu jamaah besar dengan menunjuk sahabat Ubai bin Ka'ab sebagai imam. Umar pun merasa bahagia melihat umat bersatu dalam shalat tarawih, hingga ia mengatakan, "Inilah bid'ah yang terbaik." (HR. Bukhari).
Apa Itu Bid'ah yang Dimaksud Umar?
Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa Umar bin Khattab menggunakan kata "bid'ah" untuk shalat tarawih berjamaah? Bukankah bid'ah seringkali dianggap hal yang sesat?
Kata "bid'ah" sendiri, dalam bahasa Arab, berasal dari kata bada'a yang artinya menciptakan sesuatu yang baru tanpa contoh sebelumnya. Namun, shalat tarawih berjamaah sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru, karena Nabi Muhammad SAW sudah melakukannya, meskipun hanya selama tiga malam. Alasan Nabi tidak melanjutkan karena khawatir akan diwajibkan.
Jadi, yang dimaksud bid'ah oleh Umar sebenarnya bukanlah soal pelaksanaan tarawih berjamaah, melainkan jumlah rakaat yang berubah. Di masa Nabi, tarawih dilakukan sebanyak 11 rakaat, sementara di zaman Umar dilaksanakan 23 rakaat. Umar merasa ini adalah adaptasi yang baik untuk menjaga semangat beribadah di tengah umat.
Tarawih di Indonesia
Di Indonesia, shalat tarawih biasanya dilakukan setelah shalat Isya. Kemudian, dilanjutkan dengan ceramah Ramadan sebelum melaksanakan tarawih berjamaah. Meski ada sebagian yang menyebut ceramah ini bid'ah karena tidak ada di zaman Nabi, namun ceramah Ramadan tetap menjadi momen yang dinantikan untuk memperkaya ilmu agama.
Begitu juga dengan acara Tabligh Akbar, yang meskipun tidak dilakukan di zaman Nabi, tetap menjadi salah satu cara efektif dalam menyebarkan dakwah dan menyatukan umat.
Pelaksanaan shalat tarawih berjamaah bukanlah bid'ah dalam arti negatif, tetapi justru merupakan adaptasi yang membawa manfaat besar bagi umat. Seperti yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, "Ikutilah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus setelahku." Artinya, inovasi dalam ibadah, selama tidak melanggar prinsip dasar agama, bisa jadi solusi terbaik bagi umat.
Semoga kita bisa terus menjaga semangat beribadah di bulan Ramadan, baik melalui tarawih berjamaah, ceramah, atau aktivitas lainnya yang menguatkan iman dan kebersamaan kita sebagai umat Islam.(*)