Suluah.id - Pernahkah Anda mendengar ajakan seperti, “Mari kita hadirkan niat…” atau “Mari perbarui niat…”?
Sepintas terdengar sederhana dan mulia. Namun, siapa sangka persoalan niat ternyata jauh lebih rumit dari sekadar ucapan di hati?
Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, pernah menyampaikan bahwa niat sebenarnya tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita. Jadi, meskipun kita berusaha berkata dalam hati, “Saya berniat belajar karena Allah…” atau “Saya berniat makan karena Allah…”, itu belum tentu merupakan niat yang sesungguhnya. Lalu, apa itu niat?
Niat: Antara Hati dan Dorongan
Menurut Al-Ghazali, niat adalah kecenderungan hati untuk melakukan sesuatu karena adanya tujuan tertentu. Kecenderungan ini bukan sekadar ucapan, melainkan dorongan yang lahir dari keyakinan atau keinginan mendalam.
Misalnya, seseorang yang lapar tidak bisa tiba-tiba mengatakan, “Saya berniat menyukai makanan ini,” tanpa benar-benar merasa lapar atau tertarik.
Hal yang sama berlaku dalam konteks lain. Seorang yang menikah, misalnya, mungkin melakukannya hanya untuk memenuhi dorongan biologis, tanpa niat mengikuti sunnah Rasulullah. Apakah itu salah?
Tidak sama sekali. Bahkan, menikah untuk memenuhi kebutuhan biologis secara halal tetap dianggap ibadah. Namun, agar niat itu sesuai dengan sunnah, ia membutuhkan keyakinan mendalam akan keutamaan menikah sebagai ibadah.
Menghadirkan Niat: Mungkinkah?
Lalu, bagaimana cara menghadirkan niat? Al-Ghazali menjelaskan bahwa niat sejati lahir dari sebab-sebab yang menumbuhkan kecenderungan hati. Contohnya, seseorang yang ingin menikah dengan niat mengikuti sunnah Rasul harus terlebih dahulu memperkuat keimanannya. Ia perlu memahami bahwa menikah sesuai syariat membawa pahala besar. Dengan begitu, niat itu muncul secara alami, bukan sekadar kata-kata.Para ulama salaf sering kali sangat berhati-hati dalam bertindak tanpa adanya niat yang hadir. Contohnya adalah kisah Ibnu Sirin, yang tidak ikut menyalatkan jenazah Hasan Al-Bashri. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab dengan sederhana, “Tidak ada niat yang hadir.”
Menarik Pelajaran dari Kisah Ulama
Kisah para ulama memberikan pelajaran berharga tentang makna niat. Dawud bin Al-Muhabbir, misalnya, pernah menunjukkan kitab karyanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad awalnya mengkritik kitab itu karena mengandung banyak hadis dhaif.Namun, setelah mendengar penjelasan Dawud bahwa kitab tersebut lebih menekankan pada amal, bukan sanad, Imam Ahmad melihatnya dengan sudut pandang berbeda dan akhirnya berkata, “Jazakallah khairan, aku mendapatkan manfaat dari buku ini.”
Kisah ini mengajarkan kita bahwa niat sering kali terkait erat dengan sudut pandang. Ketika seseorang melihat sesuatu dari perspektif amal dan manfaat, niatnya pun bisa berubah seiring pemahaman tersebut.
Refleksi untuk Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, niat sering kali dianggap sederhana, tetapi pada kenyataannya ia membutuhkan proses. Memperbaiki niat berarti memperbaiki pemahaman dan keyakinan kita terhadap sesuatu. Tidak ada niat yang hadir begitu saja tanpa ada sebab yang mendasarinya.
Misalnya, sebelum memulai pekerjaan, cobalah luangkan waktu untuk merenungkan manfaat dari pekerjaan tersebut. Jika Anda bisa melihat bahwa pekerjaan itu membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain, niat baik akan lebih mudah hadir. Begitu pula dalam aktivitas ibadah, memahami makna dan manfaatnya dapat membantu memperkuat niat.
Menghidupkan Niat dalam Setiap Langkah
Niat adalah inti dari setiap tindakan kita. Sebagai Muslim, penting bagi kita untuk senantiasa merefleksikan niat di balik setiap perbuatan. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”Maka, mari kita tidak hanya berkata “Saya berniat…”, tetapi benar-benar memahami dan menghadirkan niat itu dari hati yang paling dalam. Dengan begitu, setiap langkah kita, sekecil apa pun, dapat menjadi bagian dari ibadah.( YJ)