Suluah.id - Jauh di pedalaman dataran tinggi Minangkabau, tepatnya di Luhak 50, ada sebuah tradisi yang pernah membuat pemerintah Hindia Belanda terkesima: pacuan kuda. Ya, pacuan kuda! Bukan sekadar olahraga, tapi juga bagian dari budaya masyarakat Minangkabau yang telah berlangsung turun-temurun.
Di sana, beberapa lintasan pacuan kuda tradisional dikelola oleh nagari-nagari (desa adat), seperti gelanggang pacuan Simalanggang, Limbonang, dan Halaban. Sayangnya, sebagian besar gelanggang ini kini terlupakan, hanya menyisakan cerita-cerita yang tersimpan rapi dalam ingatan para tetua.
Namun, ada satu gelanggang yang masih bisa dilacak jejaknya: Gelanggang Kubu Gadang. Pada tahun 1906, pemerintah Hindia Belanda membangun gelanggang ini dengan standar modern pada masanya. Tak berhenti di situ, sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1916, Belanda mendirikan peternakan kuda di Padang Mangateh. Mereka membawa kuda-kuda ras unggulan dari luar negeri, yaitu Ras Thoroughbred, untuk dikembangkan di sana.
Thoroughbred: Si Cepat yang Mengubah Dunia Pacuan Kuda
Kuda Ras Thoroughbred bukanlah kuda sembarangan. Ras ini dikembangkan di Inggris pada abad ke-17 dan ke-18, dan menjadi legenda dalam dunia pacuan kuda. Thoroughbred dikenal karena kecepatan, stamina, dan temperamennya yang berapi-api. Tak heran, ras ini menjadi primadona di kalangan bangsawan Inggris yang gemar bertaruh dalam olahraga pacuan.
Asal-usul Thoroughbred sendiri cukup menarik. Ras ini dikembangkan dari tiga kuda jantan Arab legendaris: Darley Arabian, Godolphin Arabian, dan Byerley Turk. Ketiganya diimpor ke Inggris pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, lalu dikawinkan dengan kuda betina lokal. Hasilnya? Lahirlah Thoroughbred, ras kuda yang menggabungkan kecepatan kuda Arab dengan kekuatan kuda Eropa.
Awalnya, Thoroughbred digunakan sebagai kuda penarik kereta dan kuda perang. Namun, karena kecepatannya yang luar biasa, kuda ini dengan cepat beralih peran menjadi bintang di lintasan pacuan. Pada abad ke-18, pacuan kuda menjadi olahraga yang sangat populer di Inggris, dan Thoroughbred menjadi ras yang paling dicari.
Secara fisik, Thoroughbred memiliki tubuh yang ramping, berotot, dan atletis. Tingginya berkisar antara 157 hingga 173 cm, dengan kaki yang panjang dan kuat. Kepalanya kecil dan ramping, dengan mata besar yang penuh semangat. Warna bulunya biasanya cokelat, hitam, atau abu-abu. Singkatnya, Thoroughbred adalah kuda yang terlihat elegan dan penuh tenaga.
Kuda Padang Mangateh: Hasil Kawin Silang yang Menjadi Kebanggaan
Ketika Belanda membawa Thoroughbred ke Padang Mangateh, mereka tidak hanya membawa kuda, tapi juga membawa sebuah revolusi dalam dunia peternakan kuda di Minangkabau. Kuda-kuda ras unggulan ini kemudian dikawin silangkan dengan kuda lokal, menghasilkan ras baru yang dikenal sebagai Ras Kuda Padang Mangateh.
Kuda Padang Mangateh mewarisi kecepatan dan stamina dari Thoroughbred, namun juga memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap kondisi alam Minangkabau. Hal ini membuatnya cocok untuk digunakan dalam berbagai aktivitas, mulai dari pacuan hingga transportasi di medan yang berat.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, popularitas pacuan kuda tradisional di Minangkabau mulai memudar. Gelanggang-gelanggang pacuan yang dulu ramai kini hanya menjadi kenangan. Namun, warisan budaya ini tetap layak untuk diingat dan dilestarikan. Bagaimanapun, pacuan kuda bukan sekadar olahraga, tapi juga bagian dari sejarah dan identitas masyarakat Minangkabau.
Dengan segala keunikan dan sejarahnya, kisah pacuan kuda di Minangkabau dan kuda Ras Thoroughbred layak untuk diangkat kembali. Bukan hanya sebagai nostalgia, tapi juga sebagai pengingat bahwa budaya dan tradisi adalah harta yang tak ternilai. Siapa tahu, suatu hari nanti, gelanggang-gelanggang pacuan itu akan kembali ramai, dan kuda-kuda Padang Mangateh akan kembali berlari dengan gagah di lintasan. (*)