Iklan

Tugu Guguak Malintang: Paradoks Ingatan Kolonial dalam Narasi Kematian di Tanah Minang

25 Maret 2025, 13:58 WIB



Suluah.id - Di lereng bukit Batipuah, Sumatra Barat, sebuah monumen pernah berdiri megah—saksi bisu pertempuran berdarah antara serdadu Belanda dan pejuang Minangkabau. Tugu Guguak Malintang, begitu ia disebut, dibangun kolonial untuk memuliakan kematian tentara mereka dalam Perang Padri. 

Namun, seperti banyak jejak kolonial lainnya, tugu itu lenyap pasca-kemerdekaan. Keberadaannya bukan sekadar soal arsitektur, melainkan paradoks: bagaimana Belanda menghormati kematian bangsanya sambil merenggut nyawa pribumi tanpa jejak.  

Kuburan Kolonial: Sakralitas dan Ironi  

Orang Eropa abad ke-19 memang dikenal dengan ritual kematian yang khidmat. Sejarawan Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) mencatat bahwa kuburan kolonial adalah "simbol proyeksi kekuasaan sekaligus kerinduan akan tanah air yang jauh." 

Sebuah laporan di koran Soerabaijasch Handelsblad (1925) menggambarkan upacara pemakaman Belanda di Batavia: "Mereka menabur bunga, menangis, seolah-olah kematian adalah akhir yang mulia."  

Namun, kesakralan ini bertolak belakang dengan praktik kolonial. Dalam The Blood of the People (2009), Anthony Reid menulis, "Setiap kematian serdadu Belanda di Perang Padri dibalas dengan pembantaian sepuluh kali lipat terhadap penduduk lokal." 

Data Arsip Nasional menunjukkan, dalam pertempuran Batipuah (1837), 74 serdadu Belanda tewas, tetapi korban Minangkabau tidak tercatat—padahal diperkirakan mencapai ratusan.  


Foto yang Bercerita: Memori yang Dipilih

Foto dari Tropenmuseum Amsterdam yang disebut dalam sumber memperlihatkan sekelompok orang Belanda dan pribumi berkumpul di Tugu Guguak Malintang sekitar 1920-an. Menurut antropolog Rudolf Mrázek dalam Engineers of Happy Land (2002), upacara semacam ini adalah "ritual kolonial untuk mengukuhkan dominasi, sekaligus pengakuan akan ketakutan mereka terhadap perlawanan pribumi."  

Yang menarik, kehadiran orang Minangkabau dalam foto itu bisa dibaca sebagai ironi. Sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1971) menyatakan, "Masyarakat lokal sering dipaksa hadir dalam upacara kolonial sebagai bentuk penundukan simbolik." Namun, di balik itu, mungkin tersimpan pertanyaan: mengapa nyawa Belanda layak dikenang, sementara pahlawan mereka hanya jadi angka tanpa nama?  

Lenyapnya Tugu: Pembalasan Narasi

Hilangnya Tugu Guguak Malintang pasca-1945 bukanlah kebetulan. Sebagaimana diungkapkan A.A. Navis dalam Robohnya Surau Kami, "Orang Minang melihat kematian sebagai ketundukan pada takdir, tetapi bukan berarti mereka melupakan ketidakadilan." Penghancuran tugu ini adalah bentuk penolakan terhadap narasi kolonial yang heroik terhadap pelaku penjajahan.  

Budayawan Wisran Hadi dalam wawancara dengan Tempo (2008) berkomentar, "Kita tidak butuh monumen untuk mengingat kekejaman. Yang kita perlu adalah cerita yang jujur." Ini relevan hingga kini, di era ketika bekas negara kolonial seperti Belanda mulai mempertanyakan kembali narasi sejarah mereka—seperti proyek pengembalian artefak dan permintaan maaf atas kekerasan masa lalu.  

Pelajaran dari Batu yang Hilang

Tugu Guguak Malintang mungkin sudah raib, tetapi paradoks yang diwakilinya tetap hidup. Di satu sisi, ia mengingatkan kita pada betapa kolonialisme merendahkan nyawa pribumi; di sisi lain, ia juga menunjukkan bahwa bahkan penjajah pun punya rasa duka yang manusiawi.  

Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca, "Sejarah bukan hanya milik pemenang, tapi juga yang berani mengingat." Kini, tugas kita adalah menulis ulang ingatan itu—tanpa kebencian, tapi dengan kejujuran yang membebaskan.  (budi)
Komentar
Mari berkomentar secara cerdas, dewasa, dan menjelaskan. #JernihBerkomentar
  • Tugu Guguak Malintang: Paradoks Ingatan Kolonial dalam Narasi Kematian di Tanah Minang

Iklan