Islam: Way of Life yang Menyeluruh
Suluah.id - Jika ada yang bertanya, adakah sistem hidup yang sempurna? Jawabannya ada: Islam. Ia bukan sekadar kumpulan ritual individu, melainkan tata nilai yang mengatur dari relung privat hingga ruang publik, bahkan hingga level kenegaraan. Kesempurnaannya terpateri dalam diri Rasulullah SAW—seorang suami, ayah, pemimpin umat, sekaligus negarawan. Beliau adalah bukti nyata: agama dan negara bukan dua entitas yang bertolak belakang, melainkan dua sisi yang saling menguatkan.
Di era modern ini, diskusi tentang relasi agama-negara kerap dikerdilkan menjadi perdebatan usang. Padahal, tantangannya justru semakin kompleks: demokrasi, multipartai, partisipasi perempuan, hingga keadilan ekonomi. Untuk menjawabnya, kita harus kembali ke sumber otentik—Al-Quran, Hadits, dan ijma’ ulama—bukan sekadar mengadopsi narasi impor yang miskin konteks.
Kekuasaan & Agama: Simbiosis Mutlak
Bayangkan sebuah bangunan megah. Agama adalah tiang penyangganya, sementara negara adalah penjaga yang memastikan tiang itu tetap kokoh. Tanpa tiang, bangunan rubuh. Tanpa penjaga, tiang bisa lapuk dimakan zaman. Begitulah metafora hubungan agama-negara menurut Imam Al-Ghazali: "Keteraturan tak akan terwujud tanpa pemimpin."
Ibnu Taimiyah bahkan lebih tegas: "Keduanya ibarat saudara kembar—saling membutuhkan." Negara butuh agama sebagai kompas moral, agama butuh negara sebagai instrumen penjaga kemaslahatan. Lihatlah kekacauan di negeri-negeri sekuler: ketika agama diusir dari ruang publik, yang lahir bukanlah kebebasan, melainkan keserakahan oligarki yang menggerogoti keadilan.
Dr. Yusuf Qardhawi mengingatkan: "Sekularisme adalah pengingkaran terhadap fitrah." Manusia bukan robot yang hanya butuh hukum positif. Ia punya ruh yang haus spiritualitas, dan negara harus mengakomodasi hal ini.
Demokrasi, Musyawarah, dan Hak Perempuan: Bukan Musuh Agama
Ada yang gagal paham: seolah demokrasi bertentangan dengan Islam. Padahal, mekanisme syura (musyawarah) justru menjadi fondasi pengambilan keputusan dalam Islam. Pemilu? Ia sarana menegakkan "kesaksian karena Allah" (QS. Ath-Thalaq: 2). Siapa yang abai memilih pemimpin kompeten, ia telah berdosa—karena membiarkan yang tak layak memegang tampuk kekuasaan (QS. Al-Baqarah: 282-283).
Lalu, bagaimana dengan partisipasi perempuan? Nabi SAW sudah menegaskan: "Wanita adalah saudara kandung pria" (HR Abu Daud). Artinya, hak politik perempuan bukanlah barang haram, melainkan keniscayaan. Yang dilarang adalah fanatisme buta—baik dalam berpolitik maupun beragama—sebab kebenaran bukan monopoli golongan tertentu.
Keadilan Ekonomi: Ujian Terberat Negara
Di sini, agama dan negara harus bersinergi. Islam menolak ekonomi yang hanya mengalir di antara "orang-orang kaya saja" (QS. Al-Hasyr: 7). Negara wajib hadir sebagai visioner, bukan sekadar penarik pajak. Ia harus memastikan kekayaan tak hanya menumpuk di gudang konglomerat, sementara rakyat kecil gigit jari.
Tapi ingat: negara bukan tuhan. Ia tak boleh mengklaim monopoli kebenaran. Tugasnya menjalankan mandat agama—bukan menggantikannya. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah, sementara negara adalah fasilitator yang harus tetap rendah hati.
Rahmatan lil ‘Alamin, Bukan Sekadar Slogan
Agama dan negara bagai dua sungai yang bermuara ke samudera yang sama: peradaban manusia yang adil dan bermartabat. Ketika keduanya bersinergi, lahirlah masyarakat yang tidak hanya makmur secara materi, tetapi juga bermakna secara spiritual.
Di tengah gempuran ideologi yang ingin memisahkan keduanya, tugas kita jelas: menjadikan Islam sebagai way of life yang tidak hanya sempurna di kitab suci, tetapi juga hidup dalam tata kelola negara. Sebab, hanya dengan ini, janji rahmatan lil ‘alamin bisa menjadi kenyataan—bukan sekadar mimpi di siang bolong.
"Dan berpegang teguhlah kalian pada agama Allah, dan janganlah bercerai-berai." (QS. Ali Imran: 103).